Kamis, 15 Februari 2018

Amr nahi 2


AL-AMRU WAN NAHYU

PEMBAHASAN

AL-AMRU WAN NAHYU

A.   AL-AMAR

1.      Pengertian amar

Para ulama berbeda-beda dalam mendifinisikan Al-Amar. Menurut Imam al- Ghazali, Al Amar adalah ucapan atau tuntutanyang secara substansialagar mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam perbuatan.Sementara itu Mustafa Said al-Khind menyebutkan bahwa Amar adalah tuntutan untuk berbuat yang datang dari yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya Hafizzuddin al-Nasafi mendifinisikan Amar sebagai titah seseorang yang posisinya lebih tinggi kepada orang lain.Pernyataan Hafizzuddin ini senada dengan pernyataan Mu’tazila yang mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh karena apabila kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh,maka tidak disebut Amar tapi Do’a, seperti disebutkan dalam Al-Quran :

Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orangtuaku            

Pendapat ini didukung oleh Abu Ishak al-Syirazi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Amar adalah sesuatu yang mengandung arti tuntutan untuk berbuat. Tuntutan ini, dilihat dari segi sumbernya, berasal dari posisi yang lebih tinggi angkatannya.

2.      Karakteristik Amar

Dilihat dari segi karakteristik atau sighatnya, al-Amar dapat dibedakan kepada lima macam:

      Dengan menggunakan fi’il amr ( kata kerja perintah ), contohnya:

Hai manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhan kamu, yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.

      Dengan menggunakan fi’il mudari’ yang dihubungkan dengan lam al amr yang mengandung perintah. Misalnya:

Maka barang siapa yang telah melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa . ( QS. Al- Baqarah: 185).

      Dengan menggunakan isim masdar yang diperlukan sebagai pengganti fi’il amar. Misalnya:

Maka jika kamu menjumpai orang-orang kafir ( di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka… (QS. Muhammad: 4).

      Dengan menggunakan kalimat berita yang mengandung perintah. Misalnya:

Dan wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri sampai tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah: 228).

      Menggunakan kata-kata yang mengandung tuntutan untuk berbuat dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Misalnya firman Allah:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

3.      Amar Dari Segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya.

Setiap lafaz Amar menunju kepada dan menuntuk sesuatu meksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafaz itu sendiri. Bila diperintahkan lafaz-lafaz amar yang terdapet dalam Al-qur’an terdapat banyak sekali bentuk tuntutannya yang antara satu dengan yang lain berbeda. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata Amar :

1.      Untuk hukum wajib, artinya lafaz amar ini menghendaki pihak yng disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafaz itu. Contohnya firman Allah dalam surat an-Nissa’ (4) 77 :

Kerjakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.

2.      Untuk hukum nabd atau sunnah, artinya hukum yang tmbul dari amar itu adalah nabd, bukan untuk wajib. Misalnya dalam firman Allah dalam sutat an-Nur (24): 33:

Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.

3.      Untuk suruhan bersifat mendidik, umpamanya dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan setelah berlangsung utang piutang :

. . . . dan saksikanlah oleh dua orang saksi.

Dalam ayat ini Allah SWT, mendidik umat untuk mendatang kan dua orang saksi pada saat berlangsung transaksi utang piutang untuk kemaslahatan mereka.

4.      Untuk hukum ibahah atau boleh. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 60 :

Makan dan minumlah dari rizki Allah.

Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung suruhan apa-apa terhadap orang yang menerima amar sehingga tidak ada sanksi berupa hukuman ataupu janji pahala.

5.      Untuk tahdid atau menakut-nakuti. Misalnya dalam firman Allah dalam surat ibrahim (14): 30 :

Bersenang- senanglah kamu, karena sesungguhnua tampat kembalimu adalah neraka.

Meskipun didalam atay ini menggunakan kata amar, numun tidak mengandung tuntutan apa-apa. Bedanya dengan ibahah diatas, adalah dalam bentuk tahdid ini disebutkan janji yang tidak enak.

6.      Untuk imtinan atau merangsang keinginan. Misalnya dalam firman allah dalam surat al-An’am (6): 142:

Makanlah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu.

Intinam ini berupa kebutuhan kita kepadanya dan ketidak mempuan kita untuk mengerjakannya.

7.      Untuk ikram atau memuliakan yang disuruh. Misalnya firman Allah dalam surat al-Hijr (15): 46;

Masuklah kepadanya dengan selamay dan aman.

8.      Untuk taskhir yang berarti menghinakan. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 65:

Jadikanlah kalian kera yang hina.

Walaupun dalam ayat ini digunakan amar, namun tidak mengandung arti tuntutan, tidak mungkin Allah menuntut orang menjadi kera.

9.      Untuk ta’zir yang berarti menyatakan ketidakmampuan seseorang. Misalnua firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 23:

Jika kalian meragukan apa yang diturunkan kepada hamba kami, maka datangkanlah satu surat yang menyamainya.

10.  Untuk ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Dukhan (44); 49 :

Rasakanlah sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.

11.  Untuk taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tudak berbuat.

12.  Untuk do’a. Contohnya firman Allah dalam surat ibrahim (14): 41:

Ya. . . .Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku.

13.  Untuk tamanni yang berarti mengangankan sesuatu yang tidak akan terjadi.

14.  Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh.

15.  Untuk takwin dalam arti penciptaan.

16.  Untuk takhyir artinya memberi pilihan.

4.      Pandangan ulama tentang penggunaan sighat (bentuk) amar

Dalam hubungan ini para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini dilihat dari beberapa segi.

1.      Al-Amr Sesudah Larangan

·         Jika ada perintah sesudah larangan, maka ia menjadi ibahah. Pandangan ini berasal dari Imam Syafi’I dan sebagian ulama ushul lainnya.Contohnya adalah ayat yang berbunyi :

Dan apabila kamu telah selesai menuniakan ibdah haji, maka kamu boleh apa saja berburu. (QS. Al-Maidah: 2).

·         Al-Amr tetap menunjukkan wajib meskipun adanya sesudah larangan dan larangan tidak bisa dijadikan Qarinah yang dapat mengubah arti wajib dari sighat al-amr. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Syafi’i.

·         Al-amr sesudah larangan itu harus kembali pada substansi perintah itu sendiri yaitu untuk menghilangkan larangan atau kembali pada hukum asal sebelumnya, apakah ibahah, wajib, atau boleh jadi selain keduanya. Pandangan ini dikemukakan al-Kamal Ibn al-Humam-salah satu pengikut Mazhab Hanafi.

2.      Al-Amr dan Waktu Pelaksanaannya

·         Menurut ulama dan Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi’I bahwa al-amr itu tidak menuntut segera dilakukan. Lafal al-amr itu diciptakan hanya semata-mata untuk dikerjakan.Tuntutan segera untuk dilaksanakan dipahami setelah melihat Qarinah yang berasal dari luar al-amr. Kelompok ini memgemukakan kaidah:

Pada dasarnya al-Amr itu tidak menuntut segera dikerjakan.

·         Menurut ulama dari mazhab maliki, sebagian mazhab Hanbali, dan sebagian mazhab Hanafi serta Syafi’I, bahwa al-amr itu menuntut segera dilaksanakan. Kelompok ini berpendapat bahwa al-amr itu imbangannya dengan an-nahyi. Jika larangan menuntut segera ditinggalkan, maka demikian juga halnya dengan al-amr.Kelompok ini berpegang pada kaidah :

Pada dasarnya al-am itu mengandung tuntutan segera untuk dikerjakan.

3.      Al-Amr dan Pengulangan Tuntutan

Dalam hal ini terdapat dua perbedaan ulama. Kelompok pertama dari ulama Hanafiyah dan sebagian dari Mazhab Syafi’i serta dari golongan Mu,tazilah mengatakan bahwa tuntutan al-amr itu tidak perlu ada pengulangan. Kaidah yang mereka kemukakan adalah:

Pada dasarnya al-amr tidak mengandung tuntutan berulang kali.

Selanjutnya kelompok kedua menyatakan bahwa al-amr menghendaki pengulangan. Mereka berpijak pada kaidah yang berbunyi:

Pada dasarnya perintah itu mengandung tuntutan pengulangan untuk selama-lamanya di mana mungkin.

B.   AL-NAHYU

1.      Pengertian Al-Nahyu

Secara etimologi, al-Nahy adalah lawan dari al-amr.Jika al-amr berarti perintah, maka al-Nahy berarti larangan atau cegahan. Jadi yang dimaksud dengan al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.

2.      Karakteristik Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin, bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat digolongkan kepada al-Nahy di dalam nash, Adapun empat macam bentuk shighat al-Nahy itu adalah:

      Fi’il Mudari yang dihubungkan dengan La al-Nahiyah . Misalnya Firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang keji dan seburuk-buruk jalan.(QS. Al-Isra’:32).

      Kata yang berbentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula perbuatan dusta. (QS. Al-Hajj:30).

      Menggunakan kata Nahyitu sendiridalam kalimat. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Nahl: 23).

      Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya firman Allah:

Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak kamu yang perempuan, saudara-saudara kamu yang perempuan, saudara-saudara bapak kamu yang perempuan dan saudara-saudara ibu kamu yang perempuan. (QS. An-Nisa’:19).

3.      Penggunaan Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untuk beberapa arti, yaitu:

      Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan atau tidak boleh dilakukan . Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32)

      Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang, tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil.Larangan dalam hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.

      Untuk menyatakan do’a atau permohonan, Misalnya:

Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).

      Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan, misalnya firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).

      Menyatakan ancaman. Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat.

      Menyatakan hinaan atau merendahkan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (QS. Thaha: 131).

      Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).

      Untuk menyatakan keputusasaan. Misalnya firman Allah:

Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)

4.      Pandangan Ulama Ushul Tentang al-Nahy

1.      Segi Substansi Larangan

Perbedaan pada aspek ini berakar pada apakah hakekat atau substansi larangan tersebut menunjukkan tahrim, karahah, atau mencakup keduanya. Terhadap hal ini terdapat beberapa pandangan Ulama.

      Kelompok pertama mengatakan bahwa al-Nahy itu substansinya adalah tahrim, kecuali adal qarinah yang memalingkan arti tahrim kepada yang lainnya. Menurut Zay al-Din Sya’ban bahwa pandangan ini dikemukakan oleh kalangan jumhur ushuliyin.

      Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pada dasarnya substansi al-nahy itu adalah karahah dan tidak menunjukkan tahrim kecuali ada qarinah yang memalingkan arti karahah kepada tahrim. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian dari kalangan ulama ushul.

      Kelompok ketiga menyebutkan bahwa substansi al-Nahy adalah gabungan antara tahrim dan karahah,dan tidak menunjukkan arti kepada salah satunya kecuali ada qarinah.

2.      Segi apakah al-Nahy menuntut kesegeraan dan pengulangan.

      Pendapat pertama menyatakan bahwa shigat al-Nahy tidak menunjukkan adanya kesegeraan dan berulangnya larangan. Sebab al-Nahy sifatnya tidak mengharuskan demikian. Kesegeraan meninggalkan larangan dan berulangnya larangan tersebutkarena dihubungkan dengan adanya qarinah yang menghendakinya.

      Pendapat kedua menyebutkan bahwa al-Nahy pada asalnya memfaedahkan kesegeraan meninggalkan larangan dan menghendaki pengulangan. Jika syari’ melarang sesuatu maka wajib bagi mukallaf untuk segera meninggalkan larangan tersebut dan larangan itu berlangsung terus-menerus.



                        


Tidak ada komentar:

Qurban Pertamaku 2023

Rangkaian cerita yang Allah susun semuanya sempurna, indah, tidak ada yang janggal, apalagi keliru. Skenario Allah tersusun begitu apik, har...