Kamis, 15 Februari 2018

Amr nahi 2


AL-AMRU WAN NAHYU

PEMBAHASAN

AL-AMRU WAN NAHYU

A.   AL-AMAR

1.      Pengertian amar

Para ulama berbeda-beda dalam mendifinisikan Al-Amar. Menurut Imam al- Ghazali, Al Amar adalah ucapan atau tuntutanyang secara substansialagar mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam perbuatan.Sementara itu Mustafa Said al-Khind menyebutkan bahwa Amar adalah tuntutan untuk berbuat yang datang dari yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya Hafizzuddin al-Nasafi mendifinisikan Amar sebagai titah seseorang yang posisinya lebih tinggi kepada orang lain.Pernyataan Hafizzuddin ini senada dengan pernyataan Mu’tazila yang mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh karena apabila kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh,maka tidak disebut Amar tapi Do’a, seperti disebutkan dalam Al-Quran :

Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orangtuaku            

Pendapat ini didukung oleh Abu Ishak al-Syirazi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Amar adalah sesuatu yang mengandung arti tuntutan untuk berbuat. Tuntutan ini, dilihat dari segi sumbernya, berasal dari posisi yang lebih tinggi angkatannya.

2.      Karakteristik Amar

Dilihat dari segi karakteristik atau sighatnya, al-Amar dapat dibedakan kepada lima macam:

      Dengan menggunakan fi’il amr ( kata kerja perintah ), contohnya:

Hai manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhan kamu, yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.

      Dengan menggunakan fi’il mudari’ yang dihubungkan dengan lam al amr yang mengandung perintah. Misalnya:

Maka barang siapa yang telah melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa . ( QS. Al- Baqarah: 185).

      Dengan menggunakan isim masdar yang diperlukan sebagai pengganti fi’il amar. Misalnya:

Maka jika kamu menjumpai orang-orang kafir ( di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka… (QS. Muhammad: 4).

      Dengan menggunakan kalimat berita yang mengandung perintah. Misalnya:

Dan wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri sampai tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah: 228).

      Menggunakan kata-kata yang mengandung tuntutan untuk berbuat dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Misalnya firman Allah:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

3.      Amar Dari Segi Dilalah (penunjukan) dan Tuntutannya.

Setiap lafaz Amar menunju kepada dan menuntuk sesuatu meksud tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafaz itu sendiri. Bila diperintahkan lafaz-lafaz amar yang terdapet dalam Al-qur’an terdapat banyak sekali bentuk tuntutannya yang antara satu dengan yang lain berbeda. Berikut adalah diantara bentuk tuntutan dari kata Amar :

1.      Untuk hukum wajib, artinya lafaz amar ini menghendaki pihak yng disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafaz itu. Contohnya firman Allah dalam surat an-Nissa’ (4) 77 :

Kerjakanlah sholat dan tunaikanlah zakat.

2.      Untuk hukum nabd atau sunnah, artinya hukum yang tmbul dari amar itu adalah nabd, bukan untuk wajib. Misalnya dalam firman Allah dalam sutat an-Nur (24): 33:

Maka buatlah perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.

3.      Untuk suruhan bersifat mendidik, umpamanya dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan setelah berlangsung utang piutang :

. . . . dan saksikanlah oleh dua orang saksi.

Dalam ayat ini Allah SWT, mendidik umat untuk mendatang kan dua orang saksi pada saat berlangsung transaksi utang piutang untuk kemaslahatan mereka.

4.      Untuk hukum ibahah atau boleh. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 60 :

Makan dan minumlah dari rizki Allah.

Suruhan dalam ayat ini tidak mengandung suruhan apa-apa terhadap orang yang menerima amar sehingga tidak ada sanksi berupa hukuman ataupu janji pahala.

5.      Untuk tahdid atau menakut-nakuti. Misalnya dalam firman Allah dalam surat ibrahim (14): 30 :

Bersenang- senanglah kamu, karena sesungguhnua tampat kembalimu adalah neraka.

Meskipun didalam atay ini menggunakan kata amar, numun tidak mengandung tuntutan apa-apa. Bedanya dengan ibahah diatas, adalah dalam bentuk tahdid ini disebutkan janji yang tidak enak.

6.      Untuk imtinan atau merangsang keinginan. Misalnya dalam firman allah dalam surat al-An’am (6): 142:

Makanlah apa-apa yang diberikan Allah kepadamu.

Intinam ini berupa kebutuhan kita kepadanya dan ketidak mempuan kita untuk mengerjakannya.

7.      Untuk ikram atau memuliakan yang disuruh. Misalnya firman Allah dalam surat al-Hijr (15): 46;

Masuklah kepadanya dengan selamay dan aman.

8.      Untuk taskhir yang berarti menghinakan. Umpamanya firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 65:

Jadikanlah kalian kera yang hina.

Walaupun dalam ayat ini digunakan amar, namun tidak mengandung arti tuntutan, tidak mungkin Allah menuntut orang menjadi kera.

9.      Untuk ta’zir yang berarti menyatakan ketidakmampuan seseorang. Misalnua firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 23:

Jika kalian meragukan apa yang diturunkan kepada hamba kami, maka datangkanlah satu surat yang menyamainya.

10.  Untuk ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Dukhan (44); 49 :

Rasakanlah sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia.

11.  Untuk taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat atau tudak berbuat.

12.  Untuk do’a. Contohnya firman Allah dalam surat ibrahim (14): 41:

Ya. . . .Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku.

13.  Untuk tamanni yang berarti mengangankan sesuatu yang tidak akan terjadi.

14.  Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh.

15.  Untuk takwin dalam arti penciptaan.

16.  Untuk takhyir artinya memberi pilihan.

4.      Pandangan ulama tentang penggunaan sighat (bentuk) amar

Dalam hubungan ini para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini dilihat dari beberapa segi.

1.      Al-Amr Sesudah Larangan

·         Jika ada perintah sesudah larangan, maka ia menjadi ibahah. Pandangan ini berasal dari Imam Syafi’I dan sebagian ulama ushul lainnya.Contohnya adalah ayat yang berbunyi :

Dan apabila kamu telah selesai menuniakan ibdah haji, maka kamu boleh apa saja berburu. (QS. Al-Maidah: 2).

·         Al-Amr tetap menunjukkan wajib meskipun adanya sesudah larangan dan larangan tidak bisa dijadikan Qarinah yang dapat mengubah arti wajib dari sighat al-amr. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Syafi’i.

·         Al-amr sesudah larangan itu harus kembali pada substansi perintah itu sendiri yaitu untuk menghilangkan larangan atau kembali pada hukum asal sebelumnya, apakah ibahah, wajib, atau boleh jadi selain keduanya. Pandangan ini dikemukakan al-Kamal Ibn al-Humam-salah satu pengikut Mazhab Hanafi.

2.      Al-Amr dan Waktu Pelaksanaannya

·         Menurut ulama dan Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi’I bahwa al-amr itu tidak menuntut segera dilakukan. Lafal al-amr itu diciptakan hanya semata-mata untuk dikerjakan.Tuntutan segera untuk dilaksanakan dipahami setelah melihat Qarinah yang berasal dari luar al-amr. Kelompok ini memgemukakan kaidah:

Pada dasarnya al-Amr itu tidak menuntut segera dikerjakan.

·         Menurut ulama dari mazhab maliki, sebagian mazhab Hanbali, dan sebagian mazhab Hanafi serta Syafi’I, bahwa al-amr itu menuntut segera dilaksanakan. Kelompok ini berpendapat bahwa al-amr itu imbangannya dengan an-nahyi. Jika larangan menuntut segera ditinggalkan, maka demikian juga halnya dengan al-amr.Kelompok ini berpegang pada kaidah :

Pada dasarnya al-am itu mengandung tuntutan segera untuk dikerjakan.

3.      Al-Amr dan Pengulangan Tuntutan

Dalam hal ini terdapat dua perbedaan ulama. Kelompok pertama dari ulama Hanafiyah dan sebagian dari Mazhab Syafi’i serta dari golongan Mu,tazilah mengatakan bahwa tuntutan al-amr itu tidak perlu ada pengulangan. Kaidah yang mereka kemukakan adalah:

Pada dasarnya al-amr tidak mengandung tuntutan berulang kali.

Selanjutnya kelompok kedua menyatakan bahwa al-amr menghendaki pengulangan. Mereka berpijak pada kaidah yang berbunyi:

Pada dasarnya perintah itu mengandung tuntutan pengulangan untuk selama-lamanya di mana mungkin.

B.   AL-NAHYU

1.      Pengertian Al-Nahyu

Secara etimologi, al-Nahy adalah lawan dari al-amr.Jika al-amr berarti perintah, maka al-Nahy berarti larangan atau cegahan. Jadi yang dimaksud dengan al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.

2.      Karakteristik Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin, bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat digolongkan kepada al-Nahy di dalam nash, Adapun empat macam bentuk shighat al-Nahy itu adalah:

      Fi’il Mudari yang dihubungkan dengan La al-Nahiyah . Misalnya Firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang keji dan seburuk-buruk jalan.(QS. Al-Isra’:32).

      Kata yang berbentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula perbuatan dusta. (QS. Al-Hajj:30).

      Menggunakan kata Nahyitu sendiridalam kalimat. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Nahl: 23).

      Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya firman Allah:

Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak kamu yang perempuan, saudara-saudara kamu yang perempuan, saudara-saudara bapak kamu yang perempuan dan saudara-saudara ibu kamu yang perempuan. (QS. An-Nisa’:19).

3.      Penggunaan Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untuk beberapa arti, yaitu:

      Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan atau tidak boleh dilakukan . Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32)

      Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang, tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil.Larangan dalam hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.

      Untuk menyatakan do’a atau permohonan, Misalnya:

Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).

      Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan, misalnya firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).

      Menyatakan ancaman. Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat.

      Menyatakan hinaan atau merendahkan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (QS. Thaha: 131).

      Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).

      Untuk menyatakan keputusasaan. Misalnya firman Allah:

Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)

4.      Pandangan Ulama Ushul Tentang al-Nahy

1.      Segi Substansi Larangan

Perbedaan pada aspek ini berakar pada apakah hakekat atau substansi larangan tersebut menunjukkan tahrim, karahah, atau mencakup keduanya. Terhadap hal ini terdapat beberapa pandangan Ulama.

      Kelompok pertama mengatakan bahwa al-Nahy itu substansinya adalah tahrim, kecuali adal qarinah yang memalingkan arti tahrim kepada yang lainnya. Menurut Zay al-Din Sya’ban bahwa pandangan ini dikemukakan oleh kalangan jumhur ushuliyin.

      Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pada dasarnya substansi al-nahy itu adalah karahah dan tidak menunjukkan tahrim kecuali ada qarinah yang memalingkan arti karahah kepada tahrim. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian dari kalangan ulama ushul.

      Kelompok ketiga menyebutkan bahwa substansi al-Nahy adalah gabungan antara tahrim dan karahah,dan tidak menunjukkan arti kepada salah satunya kecuali ada qarinah.

2.      Segi apakah al-Nahy menuntut kesegeraan dan pengulangan.

      Pendapat pertama menyatakan bahwa shigat al-Nahy tidak menunjukkan adanya kesegeraan dan berulangnya larangan. Sebab al-Nahy sifatnya tidak mengharuskan demikian. Kesegeraan meninggalkan larangan dan berulangnya larangan tersebutkarena dihubungkan dengan adanya qarinah yang menghendakinya.

      Pendapat kedua menyebutkan bahwa al-Nahy pada asalnya memfaedahkan kesegeraan meninggalkan larangan dan menghendaki pengulangan. Jika syari’ melarang sesuatu maka wajib bagi mukallaf untuk segera meninggalkan larangan tersebut dan larangan itu berlangsung terus-menerus.



                        


Amr nahi

AMRU DAN AN NAHYU

A. PENGERTIAN Al Amr
Pengerian al-Amr secara bahasa berarti menuntut untuk mengerjakan sesuatu atau membuatnya.Adapun menurut istilah berarti suatu lafal yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut dan membebankan kepada orang yang lebih rendah derajatnya untuk melakukan suatu perbuatan.
Lafal al-Amr adalah lafal yang menunjukkan pengertian wajib selama al-Amr itu berada dalam kemutlakannya. Selama tidak ada dalil atau qarinah lain yang memberi implikasi arti lain, hal ini sesuai dengan kaedah 
الامريدل للوجوب                                                                                            Lafal al-Amr itu, bila di dalamnya terkandung qarinah lain mengalihkan arti makna haqiqi kepada makna lain, maka hukum yang terkandung dalam shigat al-Amr bisa berubah menjadi : al-nadb, al-irsyad, al-do’a, al-iltimas, al-tamanni, al-takhyir, al-tausiyah, al-ta’jiz, al-tahdid dan al-ibahah
B. Bentuk dan  Macam- macam Al Amr
 Bentuk Amr( Perintah)
Bentuk Al Amr  dapat dibagi lima yakni :
1.  Dengan menggunakan Fi’il Amr
Siyagh al-Amr yang menggunakan fi’il amr, seperti firman Allah, QS. Al-Baqarah (2), 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِين
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah bersama orang-orang yang ruku”       Lafal َأَقِيمُو  dan ءَاتُو dalam ayat tersebut berbentuk fi’il amr dari fi’il madhi أقام dan أتي
2. Dengan Fi’il mudhari’ yang dimasuki lam al-Amr, seperti firman Allah, QS. Al-Imran (4): 104 
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ…
“Dan hendaklah ada diantara kemu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan…
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa lafal   وَلْتَكُنْ adalah fi’il mudhari yang dimasuki lam al-Amr.

3.  Dengan menggunakan Isim mashdar sebagai pengganti dari fi’il al-Amr
Lafal mashdar yang bermakna sebagai al-amr, seperti firman Allah, QS. Al-Isra’ (15):23:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا…  
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…”
Lafal إِحْسَانًا pada ayat di atas adalah bentuk mashdar dari kata احسن- يحسن yang berarti berbuat baiklah.
4. Dengan menggunakan  Isim fi’il al-Amr
Maksudnya adalah lafal yang berbentuk isim, namun diartikan dengan fi’il, misalnya :
حي علي الصلاة, حي علي الفلاح
. 5Dengan menggunakan kalimat berita/khabar misalnya:
  والمطلقات يتربصن بأنفصهن ثلاثة قروء
Perempuan perempuan yang telah dicerai itu menunggu tiga kali suci dari haid
Maksudnya adalah lafadz يتربصن menunggu dalam ayat diatas, bentuknya sebagai khabar dan memakai fi’il mudlorek tetapi maksudnya memerintah untuk beriddah tiga kali sucimdari haid. 

Macam macam Amr
Macam-macam Amr ada 11 antara lain:
1.  Untuk  menunjukkan sunnah(للمندوب) 
2.  Untuk pelajaran (للارشاد)        
3.  Untuk memperbolehkan (للإباحة)
4. Untuk mengancam (للتهديد)
5.  Untuk menghormati (للإكرام) 
6. Untuk melemahkan (للتعجيز)

7.  Untuk doa (للدعاء)
8. Untuk menyerah(للتفويض)
9. Agar menyesal (للتلهيف) 
10. Menyuruh memilih(للتخيير) 
11. Untuk mempersamakan(للتسوية) 
C. Pelaksanaan Al  AMR
Bentuk pelaksanaan al-Amr ini, ada tiga hal  yakni :
1. al-Amr tidak menghendaki pengulangan dan tidak pula menunjukkan atas kewajiban mengerjakan seketika.Jadi apabila sudah dikerjakan, berarti sudah memenuhi perintah Allah Swt, seperti firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 196.  kewajiban haji atau umrah hanya sekali seumur hidup.  Sesungguhnya kata al-Amr sendiri tidak menyatakan sekali atau berulang-ulang, hanya karena sekali itu adalah suatu perbuatan yang dituntut.

2.  al-Amr menghendaki pengulangan ( يقتضي التكرار)
Jumhur ulama berpendapat, bahwa adanya pengulangan atau tidak adanya pengulangan tergantung kepada qarinah yang berlaku pada siyagh al-Amr.  A. Hanafi menegaskan bahwa qarinah tersebut meliputi illat, sifat, dan syarat, apabila al-Amr tersebut disertai dengan salah satu hal tersebut, maka keadaanya adalah sebagai berikut :
1. Apabila al-Amr dihubungkan dengan illat, maka harus mengikuti illat tersebut, bila ada illat maka ada hukum, bila berulang-ulang illat, maka berulang-ulang pula hokum, sebagaimana kaidah ushul fiqih .
“hokum itu selalu mengikuti ilat, baik dikala ada ilat maupun tidak ada”
2. Apabila al-Amr dihubungkan dengan syarat atau sifat, maka berulang-ulang pula pekerjaan yang dituntut bila sifat dan syarat tersebut berlaku sebagai illat. Sebagai contoh sifat dapat kita perhatikan firman Allah QS.al-Nur ayat 2 tentang hak zina

االزانية والزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
dan contoh syarat surah al-Maidah ayat 6 tentang perintah bersuci bila dalam keadaan junub.
وان كنتم جنبا فاطهروا
 Kesegeraan dalam al-Amr (يقتضي الفور  )
Sesuatu suruhan adakalanya dihubungkan dengan waktu dan adakalanya tidak.  Apabila dihubungkan dengan waktu tertentu, seperti shalat wajib, maka pelaksanaanya harus sesuai dengan ketentuan.  Tapi bila al-Amr tidak dihubungkan dengan waktu seperti perintah kifarat mengqadha puasa dan yang lainnya, maka diantara ulama ushul ada yang berpendapat, bahwa al-Amr tidak menghendaki berlaku segera.
D. Perintah sesudah larangan
الامر بعد النهى يفيد الإباحة
“ Perintah sesudah larangan, berarti menunjukkan untuk membolehkannya”.
Artinya, apabila sesuatu perbuatan yang semula telah dilarang, kemudian dating perintah untuk mengerjakan, perintah yang kemudian ini berarti hanya membolehkan( bukan mewajibkan). Misalnya: كنت نهيتكم عن زيارة القبر الأن فزوروها
Perintah ziarah kubur disini bukan berarti wajib dan bukan pula haram, perintah ini diberikan setelah adanya larangan, tetapi hanya untuk menunjukkan ibahah(dibolehkan)
B. Larangan (Al-Nahyu)
A. Pengertian Al-Nahyu
Pengertian Al-Nahyu menurut bahasa berarti mencegah atau melarang.  Adapun Al-Nahyu menurut Syara’ ialah 
طلب الترك من الاعلى الى الأدنى
“ memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebuh tinggi kepada orang yang lebih rendah tingkatannya “sedangkan dasar arti larangan adalah 
  للتحريم النهىفىالأصل
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram(haromnya perbuatan yang dilarang) “
Berangkat dari beberapa pernyataan diatas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Al-Nahyu adalah, kalimat pernyataan yang menunjukkan adanya suatu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.  Seperti larangan Allah kepada hambaNya, larangan pimpinan kepada bawahannya.

B. Macam macam Arti Nahi
Macam macam arti nahi dapat dibagi menjadi 6 yaitu:
1. Untuk menunjukkan makruh(للكراهة)
2. Untuk Do’a(للدعاء) 
3. Untuk memberikan pelajaran(للإرشاد)
4. Untuk memutus asakan(للتيئيس)
5. Untuk menghibur(للإئتناس)
6. Untuk ancaman(للتهديد)
C.  Hukum yang terkandung dalam suatu larangan
Di dalam pembahasan Al-Nahyu, para ulama ushul telah mendapati nash-nash Al-Nahyu itu mengandung ketentuan hukum.  Imam syafi’i dalam kitabnya al-Umm menyatakan, bahwa apa yang dilarang Allah dan rasulNya adalah haram hukumnya, kecuali melalui dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dilarang itu tidak haram.
Dalam ilmu ushul fiqih, pendapat imam Syafi’i tersebut dikenal dengan kaidah 
 الأصـل في النهي التحريـم (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram)Dan karena yang dilarang itu haram hukumnya, maka sifat larangan itu harus berulang-ulang (al-Tikrar), dan tuntutan untuk meninggalkannya harus segera dilaksanakan (al-Faur).  Dalam konteks ini, apabila lafal Al-Nahyu tersebut dituturkan secara mutlak.  Artinya bahwa dalam nash itu tidak terdapat qarinah yang mengalihkan makna Al-Nahyu kepada makna.
1.  al-Amr adalah bentuk yang  mengandung tuntutan dari atas ke bawah untuk melaksanakan suatu perbuatan.  Al-Amr jika tidak ada qarinah lain yang mengalihkan kandungan makna hukum maka ia bersifat yang wajib mutlak, tetapi bila ada qarinah lain maka kandungan makna dan hukhumnya bisa berubah.
2.  Al-Nahyu adalah tuntutan meninggalkan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Hakikatnya adalah larangan yang menunjukkan haram.  Dengan adanya qarinah-qarinah yang bermacam-macam di dalamnya, maka Al-Nahyu dapar mengarah kepada beberapa pengertian.

D. Larangan memerintahkan  kebalikannya
النهي عن الشيئ إمر بضده
“ Melarang sesuatu bereati memerintahkan yang menjadi kebalikannya ( salah satu dari beberapa yang menjadi kebalikannya).
Misalnya,jika ada larangan yang mengatakan” Janganlah duduk” berarti memerintahkan mengrjakan kebalikannya yaitu berdiri.
Contoh yang lain kita dilarang berjalan dengan lagak sombomg, sebagaimana dalam        Al Qur’an            ولا تمش فى الأرض مرحا
Larangan tersebut memberikan pengertian bahwa kuta diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan dan tawadhu’. Artinya kita diperintahkan mengerjakan sesuatu yang menjadi kebalikan larangan itu.

Amru wa nahyu

Al-Amru dan Al(An)-Nahyu

AL-AMRU

Definisi Amar

Para ulama berbeda-beda dalam mendifinisikan Al-Amar. Menurut Imam al- Ghazali, Al Amar adalah ucapan atau tuntutan-yang secara substansial-agar mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi tuntutannya dalam perbuatan.1Sementara itu Mustafa Said al-Khind menyebutkan bahwa Amar adalah tuntutan untuk berbuat yang datang dari yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya Hafizzuddin al-Nasafi mendifinisikan Amar sebagai titah seseorang yang posisinya lebih tinggi kepada orang lain.2Pernyataan Hafizzuddin ini senada dengan pernyataan Mu’tazilah3 yang mensyaratkan kedudukan pihak yang menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh karena apabila kedudukan yang menyuruh lebih rendah dari yang disuruh,maka tidak disebut Amar tapi Do’a, seperti disebutkan dalam Al-Quran :

Ya Tuhanku, ampunilah aku beserta kedua orangtuaku.

Pendapat ini didukung oleh Abu Ishak al-Syirazi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Amar adalah sesuatu yang mengandung arti tuntutan untuk berbuat. Tuntutan ini, dilihat dari segi sumbernya, berasal dari posisi yang lebih tinggi angkatannya4 .

Karakteristik al-Amar

Dilihat dari segi karakteristik atau sighatnya, al-Amar dapat dibedakan kepada lima macam5:

Dengan menggunakan fi’il amr ( kata kerja perintah ), contohnya:

Hai manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhan kamu, yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.

Dengan menggunakan fi’il mudari’ yang dihubungkan dengan lam al amr yang mengandung perintah. Misalnya:

Maka barang siapa yang telah melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa . ( QS. Al- Baqarah: 185).

Dengan menggunakan isim masdar yang diperlukan sebagai pengganti fi’il amar. Misalnya:

Maka jika kamu menjumpai orang-orang kafir ( di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka… (QS. Muhammad: 4).

Dengan menggunakan kalimat berita yang mengandung perintah. Misalnya:

Dan wanita-wanita yang ditalak oleh suaminya hendaklah menahan diri sampai tiga kali quru’. (QS. Al-Baqarah: 228).

Menggunakan kata-kata yang mengandung tuntutan untuk berbuat dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Misalnya firman Allah:

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

Kandungan tuntutan al-Amar dan Penggunaannya

Menurut Syaikh Muhammad al-Khudari Beik,6yang didukung oleh pendapat Zaky Al-Din Sya’ban serta pandangan para Ulama Ushul,7lafadz al-Amar itu dibagi menjadi lima macam, yaitu:

Tuntutan yang menujukkan sesuatu perbuatan wajib dilakukan ( ).

Tuntutan yang menunjukkan anjuran saja ( ).

menunjukkan semata-mata tuntutan saja.

menunjukkan keizinan atau kebolehan.

Menujukkan kepada arti lain selain dari criteria di atas karena adanya Qarinah.

Kelima macam pendapat ini merupakan pendapat ulama Ushul. Disamping itu, jumhur ushuliyin berpendapat bahwa pada dasarnya tuntutan al-amr itu mengandung makna wajib.

Pandangan Ulama Tentang Penggunaan Sighat al-Amr

Dalam hubungan ini para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini dilihat dari beberapa segi.

Al-Amr Sesudah Larangan

Berikut beberapa pandangan ulama terhadap amr sesudah larangan :

Jika ada perintah sesudah larangan, maka ia menjadi ibahah. Pandangan ini berasal dari Imam Syafi’I dan sebagian ulama ushul lainnya.8 Contohnya adalah ayat yang berbunyi :

Dan apabila kamu telah selesai menuniakan ibdah haji, maka kamu boleh apa saja berburu. (QS. Al-Maidah: 2).

Al-Amr tetap menunjukkan wajib meskipun adanya sesudah larangan dan larangan tidak bisa dijadikan Qarinah yang dapat mengubah arti wajib dari sighat al-amr. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Syafi’i.9

Al-amr sesudah larangan itu harus kembali pada substansi perintah itu sendiri yaitu untuk menghilangkan larangan atau kembali pada hukum asal sebelumnya, apakah ibahah, wajib, atau boleh jadi selain keduanya. Pandangan ini dikemukakan al-Kamal Ibn al-Humam-salah satu pengikut Mazhab Hanafi.

Al-Amr dan Waktu Pelaksanaannya

Dalam hal ini pertanyaannya adalah apakah al-amr menuntut segera dikerjakan atau tidak? Berikut pandangan ulama tentang hal itu:

Menurut ulama dan Mazhab Hanafi dan sebagian Mazhab Syafi’I bahwa al-amr itu tidak menuntut segera dilakukan. Lafal al-amr itu diciptakan hanya semata-mata untuk dikerjakan.10Tuntutan segera untuk dilaksanakan dipahami setelah melihat Qarinah yang berasal dari luar al-amr. Kelompok ini memgemukakan kaidah:

Pada dasarnya al-Amr itu tidak menuntut segera dikerjakan.

Menurut ulama dari mazhab maliki , sebagian mazhab Hanbali, dan sebagian mazhab Hanafi serta Syafi’I, bahwa al-amr itu menuntut segera dilaksanakan. Kelompok ini berpendapat bahwa al-amr itu imbangannya dengan an-nahyi. Jika larangan menuntut segera ditinggalkan, maka demikian juga halnya dengan al-amr.11Kelompok ini berpegang pada kaidah :

Pada dasarnya al-am itu mengandung tuntutan segera untuk dikerjakan.

Al-Amr dan Pengulangan Tuntutan

Dalam hal ini terdapat dua perbedaan ulama. Kelompok pertama dari ulama Hanafiyah dan sebagian dari Mazhab Syafi’i serta dari golongan Mu,tazilah 12 mengatakan bahwa tuntutan al-amr itu tidak perlu ada pengulangan. Kaidah yang mereka kemukakan adalah:

Pada dasarnya al-amr tidak mengandung tuntutan berulang kali.

Selanjutnya kelompok kedua menyatakan bahwa al-amr menghendaki pengulangan. 13Mereka berpijak pada kaidah yang berbunyi:

Pada dasarnya perintah itu mengandung tuntutan pengulangan untuk selama-lamnya di mana mungkin.

AL-NAHYU

Pengertian Al-Nahy

Secara etimologi, al-Nahy adalah lawan dari al-amr.14 Jika al-amr berarti perintah, maka al-Nahy berarti larangan atau cegahan. Banyak ulama yang mendefinisikan makna al-nahy, diantaranya,Zaky al-Din Sya’ban menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Nahy ialah :15

Al-Nahy ialah sesuatu tuntutan yang menunjukkan larangan untuk berbuat.

Sementara itu, Imam Abu Zahrah menyatakan pula bahwa yang dimaksud dengan al-nahy ialah:16

Al-nahy adalah tuntutan yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan.

Dari banyak pengertian yang diberikan para ulama tersebut pada hakikatnya menjelaskan bahwa al-Nahy itu adalah tuntutan yang bentuknya larangan atau mencegah agar tidak melakukan perbuatan dan larangan yang datangnya dari syar’i yang telah dituangkan dalam nash yaitu al-Quran dan al-Sunnah.

Karakteristik Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin, bahwa ada empat macam bentuk karakteristik yang dapat digolongkan kepada al-Nahy di dalam nash, Adapun empat macam bentuk shighat al-Nahy itu adalah:17

Fi’il Mudari yang dihubungkan dengan La al-Nahiyah . Misalnya Firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal yang keji dan seburuk-buruk jalan. (QS. Al-Isra’:32).

Kata yang berbentuk perintah yang menuntut untuk menjauhi larangan atau meninggalkan suatu perbuatan. Misalnya firman Allah:

Artinya: Maka jauhilah oleh kamu berhala-berhala yang kotor itu dan jauhilah pula perbuatan dusta. (QS. Al-Hajj:30).

Menggunakan kata Nahy ( ) itu sendiridalam kalimat. Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Nahl: 23).

Jumlah khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu. Misalnya faiman Allah:

Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak kamu yang perempuan, saudara-saudara kamu yang perempuan, saudara-saudara bapak kamu yang perempuan dan saudara-saudara ibu kamu yang perempuan. (QS. An-Nisa’:19).

Penggunaan Shigat al-Nahy

Menurut Mustafa Said al-Khin bahwa para ulama ushul sepakat bahwa al-Nahy untuk beberapa arti, yaitu:18

Untuk menyatakan haramnya suatu perbuatan ( ), atau tidak boleh dilakukan . Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah mendekati (berbuat) zina. (QS. Al-Isra’: 32)

Untuk menyatakan suatu perbuatan terlarang ( ), tetapi jika dikerjakan tidak bedosa. Dan lebih baik jika tidak dikerjakan. Misalnya dalam Hadits Nabi disebutkan bahwa nabi melarang menyentuh kemaluan dengan tangan ketika buang air kecil.19Larangan dalam hadits ini tidak sampai kepada tingkat haram, tetapi sifatnya makruh saja.

Untuk menyatakan do’a atau permohonan ( ). Misalnya:

Artinya: Wahai Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami.(QS. Ali Imran : 8).

Menyatakan dan menunjukkan bimbingan atau pengarahan ( ), misalnya firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan ( kepada nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, niscaya akan menyusahkan kamu. ( QS. Al-Maidah: 101).

Menyatakan ancaman ( ). Maksud ancaman ini adalah untuk menakuti agar tidak berbuat.

Menyatakan hinaan atau merendahkan ( ). Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang tealah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia. (QS. Thaha: 131).

Menjelaskan suatu akibat dari suatu perbuatan ( ). Misalnya firman Allah:

Artinya: Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim. (QS. Ibrahim: 42).

Untuk menyatakan keputusasaan ( ). Misalnya firman Allah:

Artinya: wahai orang-orang kafir jangnlah kamu menyatakan uzur pada hari ini, bahwasanya kamu diberi balasan menurut apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Tahrim: 7)

Pandangan Ulama Ushul Tentang al-Nahy

Segi Substansi Larangan

Perbedaan pada aspek ini berakar pada apakah hakekat atau substansi larangan tersebut menunjukkan tahrim, karahah, atau mencakup keduanya. Terhadap hal ini terdapat beberapa pandangan Ulama.20

Kelompok pertama mengatakan bahwa al-Nahy itu substansinya adalah tahrim,kecuali adal qarinah yang memalingkan arti tahrim kepada yang lainnya. Menurut Zay al-Din Sya’ban bahwa pandangan ini dikemukakan oleh kalangan jumhur ushuliyin.21

Kelompok kedua menyatakan sebaliknya, bahwa pada dasarnya substansi al-nahy itu adalah karahah dan tidak menunjukkan tahrim kecuali ada qarinah yang memalingkan arti karahah kepada tahrim.Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian dari kalangan ulama ushul.22

Kelompok ketiga menyebutkan bahwa substansi al-Nahy adalah gabungan antara tahrim dan karahah, dan tidak menunjukkan arti kepada salah satunya kecuali ada qarinah.23

Segi apakah al-Nahy menuntut kesegeraan dan pengulangan.

Pendapat pertama menyatakan bahwa shigat al-Nahy tidak menunjukkan adanya kesegeraan dan berulangnya larangan. Sebab al-Nahy sifatnya tidak mengharuskan demikian. Kesegeraan meninggalkan larangan dan berulangnya larangan tersebutkarena dihubungkan dengan adanya qarinah yang menghendakinya.24

Pendapat kedua menyebutkan bahwa al-Nahy pada asalnya memfaedahkan kesegeraan meninggalkan larangan dan menghendaki pengulangan. Jika syari’ melarang sesuatu maka wajib bagi mukallaf untuk segera meninggalkan larangan tersebut dan larangan itu berlangsung terus-menerus.25

SEKIAN

Mhd. Zuchri Fachrun

1 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 175.

2 Ibid, h.176.

3 Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, jilid 2, (Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu , 1999), h. 162.

4 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama1999), h. 176.

5 Pernyataan ini dikeluarkan oleh Mustafa Said al-Khin yang terkutip dalam buku karangan. Drs.Romli SA, M. Ag. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama1999, halaman 178. Selanjutnya lihat Mustafa Said al-Khin.Loc.Cit.

6  Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 181.

7  Ibid.

8 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 182.

9 Ibid. h. 183.

10Ibid. h 184.

11Ibid.

12Ibid. h. 186.

13  Ibid.

14  Mustafa said al-Khin. Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-fuqaha’. Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969, halaman 328.

15  Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama1999), h. 187.

16  Ibid.

17  Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 189.

18  Ibid. h. 190.Lihat juga Mustafa Said al-Khin.Loc.cit.

19  Lihat Drs.Romli SA, M. Ag. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama1999, halaman 191. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang dikutip oleh Mustafa Said al-Khin. Asrnal-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf Fi al-Fuqaha’. Kairo: Muassah al-Risalah, 1969, halaman 330.

20  Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 192.

21  Ibid. halaman 193.

22  Ibid.

23  Ibid.

24 Ibid, h. 194

25  Ibid. Pendapat ini didukung oleh penulis.

Muhammad Zuchri Fachrun, SE.I di 08.36.00

Berbagi

Minggu, 04 Februari 2018

Jadwal gasal

http://sisca.iainpurwokerto.ac.id/download/jadwal-17182/JADWAL%20genap%202017-2018_years_days_horizontal.html

Qurban Pertamaku 2023

Rangkaian cerita yang Allah susun semuanya sempurna, indah, tidak ada yang janggal, apalagi keliru. Skenario Allah tersusun begitu apik, har...