Minggu, 03 Desember 2017

Filologi smt 3


SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI  DI NUSANTARA

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Sebuah peradaban tidak dapat terlepas dari masa lampau. Nusantara merupakan kawasan yang terletak dibagian Asia Tenggara, yang mana telah memiliki peradaban tinggi dan mewariskan pada generasi selanjutnya melalui berbagai media, salah satunya tulisan berupa naskah yang mengandung banyak sejarah serta peninggalan-peninggalan berharga lainnya yang mengidentifikasikan tinggi rendahnya sebuah peradaban. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengkaji peninggalan-peninggalan sejarah tersebut.

Dalam kurun waktu 50 tahun ini, penelitian filologi telah maju dengan pesat. Seperti halnya ilmu lain, teknologi modern telah menunjang perkembangannya.[1] Studi filologi merupakan studi yang sangat signifikan dalam hal mengkaji warisan budaya yang tersebar dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Studi filologi berkonsentrasi pada pengkajian terhadap naskah-naskah kuno.

Filologi adalah ilmu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan.[2] Disiplin filologi pernah mencapai prestasi spiritual dan ilmiah pada berbagai periode dalam tradisi besar termasuk tradisi Barat dan tradisi Islam. [3] Filologi sudah dikenal sejak abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli di kota iskandariyah yang dikenal sebagai ahli filologi.[4] Sejarah perkembangan filologi terus berlanjut ke kawasan timur tengah pada abad ke-4 M, kemudian menyebar ke kawasan Nusantara pada abad ke-16 M.

Nusantara dikenal sebagai negara yang kaya dengan khazanah budaya peninggalan masa lampau. Salah satu diantaranya adalah peninggalan dalam bentuk naskah-naskah lama dengan tulisan tangan. Dimana Objek kajian filologi sendiri adalah teks dan naskah. Keduanya  diibaratkan dua sisi dari sebuah mata uang.[5]

Perlu dicatat bahwa jumlah naskah-naskah milik pribadi (Nusantara) yang banyak diakses karena dianggap suci (keramat). Itupun baru naskah berbahasa arab, belum lagi naskah-naskah dalam bahasa daerah nusantara lainnya seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Batak, dan lain-lain yang tidak jarang juga memuat teks-teks keagamaan. Nurcholis Madjid pernah mengatakan, bahwa naskah-naskah “kita” terdapat dalam jumlah jutaan! [6].

Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara.[7] Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang kemudian telaah naskah dilanjutkan oleh para penginjil. Dari perkembangan filologi ini pula lahir para tokoh-tokoh filologi Nusantara yang berperan dalam perkembangan filologi.

B.  Rumusan Masalah

Pada makalah ini akan dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.    Bagaimana sejarah perkembangan filologi di Nusantara?
2.    Bagaimana peran filologi dalam mempelajari Sastra Islam Nusantara?
3.    Bagaimana Karakteristik Teks Ulama Nusantara?
4.     Bagaimana Kajian dan Penelitian Filologi Ulama Nusantara?

C.  Tujuan

1.    Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan filologi di Nusantara?
2.    Untuk mengetahui bagaimana peran filologi dalam mempelajari Sastra Islam Nusantara?
3.    Untuk mengetahui bagaimana Karakteristik Teks Ulama Nusantara?
4.     Untuk mengetahui bagaimana Kajian dan Penelitian Filologi Ulama Nusantara?

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Sejarah Perkembangan Filologi di Nusantara

Nusantara merupakan kawasan yang memiliki peradaban tinggi dan diwariskan secara turun-temurun melalui berbagai media, antara lain media tulisan yang berupa naskah-naskah. Kekayaan Nusantara akan naskah-naskah lama dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang dewasa ini terdapat di berbagai pusat studi kebudayaan Timur pada umumnya. Filologi di Nusantara, awalnya dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, bertujuan untuk mengungkap informasi masa lampau yang terkandung dalam bahan tertulis peninggalan masa lalu dengan harapan adanya nilai-nilai atau hasil budaya masa lampau yang diperlukan dalam kehidupan masa kini. [8] Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis, yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara .[9]

Dalam tradisi Islam, kajian filologis bermula dari terkonstruknya tata bahasa ilmiah karya Khalid bin Ahmad dan Sibaweyh, serta kebangkitan peradaban fiqh (Yurispudensi), ijtihad (hermeneutika yurispudensi), dan ijtihad (interpretasi). Pada tahap selanjutnya, fiqh lughawi, hermeneutika bahasa muncul dalam budaya Arab-Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam praktik pembelajaran Islam. Aktivitas-aktivitas ini berlangsung pada abad ke-12 dalam tradisi intelektual Islam, jauh sebelum dunia Barat-Kristen mengadopsinya. (Sudibyo, 2007:108)  

Geliat perkembangan filologi juga terjadi di Indonesia. Meski bangsa ini baru genap berusia 70 tahun pada 17 Agustus lalu, namun Indonesia memiliki peninggalan manuskrip-manuskirp yang sangat banyak. Tidak kurang dari 5000 naskah dengan 800 teks tersebar dalam berbagai museum dan perpustakaan di penjuru dunia. (Siti Bararah Baried, dkk, 1994: 9). Objek kajian filologi yang melimpah di bumi Nusantara, seharusnya menjadi mortar bagi kebangkitan kajian filologi di negeri ini. Sejarah kajian filologi di Nusantara perlu diangkat ke permukaan, guna mendesripsikan geliat kajian filologi. Lebih lanjut, kajian ini bisa menjadi tolak ukur telah sejauh mana kajian filologis di Indonesia.

Kata filologi berasal  dari bahasa Yunani philogia yang berupa gabungan kata dari Philos yang berarti ‘teman’ dan logos yang berarti ‘pembicaraan’ atau ‘ilmu’. Dalam bahasa Yunani philogia berarti ‘senang berbicara’ yang kemudian berkembang menjadi ‘senang belajar’, ‘senang kepada ilmu’, ‘senang kepada tulisan-tulisan,’ dan kemudian ‘senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi’ seperti ‘karya-karya sastra’.[2] Jadi filologi sebagai disiplin ilmu mengenai bahasa dan sastra suatu bangsa, pada mulanya sangat erat kaitannya dengan bahasa dan sastra bangsa Yunani dan Romawi, kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa-bangsa lain, seperti  bangsa Perancis, Spayol, Belanda.[3]

Siti Baroroh Baried dkk, Pengantar Teori Filologi, BPPF, Yogyakarta ,1994,  hlm. 2.

[3] Elis Suryani , Filologi, Ghalia Indonesia, Bogor,  2012, hlm. 2-3.

Secara etimologis, filologi berarti ketertarikan terhadap kata. Dalam arti ini, filologi bersinonim dengan berbagai kajian tentang bahasa, dan hampir seluruh studi tentang produk jiwa manusia. Namun, secara khusus, filologi dimaknai sebagai konfigurasi keahlian ilmiah yang sesuai dengan kekuratoran teks historis (historical text curatorship) (Sudibyo, 2007: 108). Dalam artian khusus ini, filologi memiliki dua tugas utama, mengidentifikasi dan merestorasi setiap teks dari berbagai masa yang telah lampau.

Di Indonesia, tradisi penulisan naskah sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India, terutama sebelum abad ke-14 M. Teks-teks yang diprediksi muncul sejak abad ke-7 banyak dipengaruhi oleh agama Budha, serta menggunakan bahasa sansekerta sebagai bahasa pengantarnya. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat itu, Sriwijaya menjadi pusat pemerintahan yang menguasai Nusantara.

Teks yang berasal dari India banyak disalin, didiskusikan, dan diberikan komentar dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam kurun waktu beberapa abad, bahasa Sansekerta menjadi salah satu bahasa terpenting bagi kalangan cendikiawan dan agamawan di Sumatra, Jawa, dan Bali. Pada perkembangan selanjutnya, model-model teks sansekerta ini banyak memengaruhi penulisan teks asli dalam bahasa Jawa Kuno yang menyebabkan karakteristik tersendiri dalam penulisan teks di Nusantara pada kala itu (Oman Fathutahman, 2015: 41).

B. Peran Filologi dalam Mempelajari Sastra Islam Nusantara

Salah satu perubahan penting dalam sejarah dan tradisi tulis naskah di Indonesia adalah ketika pengaruh Islam semakin kuat pada abad ke-13, serta bergantinya bahasa sansekserta menjadi bahasa Melayu sebagai bahasa politik, dagang, agama, dan budaya. Pada abad ke-14, tradisi penulisan naskah Melayu dengan menggunakan aksara Jawi mulai mendominasi, khususnya di wilayah Selat Malaka. Namun, sampai saat ini, jejak-jejak aksara pra-Islam masih dapat ditemukan (Oman Fathurahman, 2015: 42).

Meski manuskrip-manuskrip Nusantara telah ada sejak abad ke-7 M, namun kajian filologi di Indonesia baru tumbuh dan berkembang pada saat Pemerintah Kolonial Belanda melalui ide beschaving missie (misi pemberadaban). Untuk mewujudkan visi tersebut, Belanda membangun dua institusi pusat: Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG) dan Konink lijk Instituut voor Taal-en Volkenkunde (KITLV). NBG bergerak dalam syiar agama Kristen, sedangkan KILTV fokus dalam riset bahasa, geografi, dan antropologi (Sudibyo, 2007: 111).

Salah satu misi utama NBG adalah menerjemahkan Al-Kitab dalam bahasa daerah di wilayah jajahan Belanda. Untuk itu, NBG tidak ingin merekrut penerjemah amatir. Lembaga tersebut menetapkan syarat yang ketat untuk penerjemah Al-Kitab yang diberi kedudukan sebagai taalafgecaardidge (utusan bahasa). Dapat difahami, tujuan dari dibentuknya lembaga ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai kristiani kepada penduduk pribumi.

Sedangkan KITLV didirikan untuk menginfentaris pengetahuan ilmiah tentang bahasa, geografi, dan antropoplogi Jawa yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi pemerintah kolonial. Dengan cara demikian, maka kekuasaan Belanda dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang lama. (Sudibyo, 2007: 112) Tujuan itu menjelaskan bahwa lembaga KITLV didirikan untuk mempertahankan pemerintahan absolut Belanda di bumi Nusantara, khususnya Jawa.

Hasrat intelektual pribumi untuk mengkaji teks-teks Nusantara baru muncul setelah tahun 1965, ketika mulai terjalin berbagai kerjasama antara perguruan tinggi Indonesia dengan sejumlah institusi yang ada di luar negeri. Sebelumnya, kajian-kajian filologi di Indonesia belum terbina. Salah satu hal yang paling memengaruhi adalah masuknya berbagai teori sastra, sepert strukturalisme, intertekstualitas, resepsi, serta berbagai teori lainnya ke dalam khazanah intelektual di Indonesia, tak terkecuali para pengkaji naskah. Hal tersebut terjadi pada awal tahun 1960-an (Oman Fathurhman, dkk, 2010: 16).

Berbagai pendekatan teori  sastra dalam mengkaji naskah-naskah kuno tersebut, telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kajian filologi di Indonesia. Ikram, sebagaimana dikutip Oman Fathurahman, dkk (2010:17) mengatakan bahwa para filolog menjadi lebih sistematis dalam menelusuri makna dan fungsi naskah sebagai sebuah jenis sastra lama. Hingga saat ini,  pendekaan kajian naskah dengan memanfaatkan berbagai teori sastra banyak diikuti oleh para pengkaji naskah generasi selanjutnya.

Baried, Siti Bararah, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jogjakarta: BPPF Seksi Filologi, Fak. Sastra, UGM).   

Fathurahman, Oman, dkk. 2010. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Pasutbang Lektur Keagamaan.

--------------------------------. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta: Prenada Media Group

Sudibyo. 2007. Kembali ke Filologi: Filologi Indonesia dan Tradisi Orientaslisme.Dalam Jurnal Humaniora Volume 19. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.

C. Karakteristik Teks Ulama Nusantara

D. Kajian dan Penelitianenelitian Filologi Ulama Nusantara

3.      Kegiatan Filologi Terhadap Naskah Nusantara

Kajian ahli filologi terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya atau untuk kedua-duanya. Hasil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf Pegon atau huruf Jawi dengan disertai pengantar atau pendahuluan yang sangat singkat tanpa analisis isinya, misalnya suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern. [15]

Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf Latin, misalnya Wrettasantjaja(1849), Ardjoena-Wiwaha (1850) danBomakawya (1950). Ketiga-tiganya naskah Jawa kuno disunting oleh T.Th.A. Friederich dan Brata Joeda (1850) oleh Cohen Stuart. Setelah itu suntingan naskah disertai dengan terjemahan dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, merupakan perkembangan filologi selanjutnya. Misalnya: Sang Hyang Kamahayanikan, Oud Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningan oleh J. Kats (1910) dan Arjuna-Wiwaha oleh Poerbatjaraka (1926).[16]

Pada abad ke-20 muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah di-sunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya terbitan sebuah primbon Jawa dari abad ke-16, pertama-tama oleh Cunning (1881) dengan metode diplomatic. Kemudian pada tahun 1921 disunting oleh H. Kreamer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, dan pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drew dengan judul yang sama. Pada abad ke-20 banyak diterbitkan naskah-naskah keagamaan baik naskah Melayu maupun naskah Jawa hingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli filologi serta selanjutnya mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.

Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra (Barat), misalnya analisis struktur dan minat terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikran berjudul Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980), berdasarkan analisis struktur dan fungsi terhadap teks Hikayat Hang Tuah dikerjakan oleh Sulastin Sutrisno berjudul Hikayat Hang Tuah.[17]

Dengan telah dikenalinya dan tersedianya suntingan sejumlah naskah-naskah Nusantara, maka kemungkinan menyusun sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah. Tersedianya naskah serta suntingan-suntingan naskah-naskah Nusantara juga telah mendorong minat untuk menyusun kamus ba­hasa - bahasa Nusantara,  bahkan sejak abad ke-19 telah terbit be­berapakamus bahasa Jawa dan lain-lain. 

Kegiatan filologi terhadap naskah-naskah Nusantara telah mendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya telah dimanfaatkan oleh berbagai disiplin teru­tama disiplin humaniora dan ilmu-ilmu sosial. Kegiatan tersebut telah memenuhi tujuan ilmu filologi ialah melalui telaah naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan telah mengangkat nilai-nilaai luhur yang disimpan di dalamnya [18].

. Filologi di Kawasan Nusantara

Nusantara adalah kawasan yang termasuk Asia Tenggara. Seperti kawasan Asia pada umumnya, Nusantara telah memiliki peradaban tinggi dan diwariskan pada generasi selanjutnya melalui berbagai media, salah satunya tulisan berupa naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara. Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang pertama menyadari nilai berharga naskah Nusantara adalah pedagang yang ingin mendapat untung dari penjualan naskah tersebut. Datangnya bangsa Barat dan ditulisnya buku tentang kebudayaan Nusantara oleh Frederik de Houtman menimbulkan minat besar bangsa Barat pada Nusantara.

Dan walaupun terdapat beragam suku dengan bahasa yang berbeda-beda namun untuk mendekati bangsa ini langkah pertama yang diperlukan adalahkemampuan bahasa Melayu. Karena kemampuan berbahasa Melayu akan membuka komunikasi dengan pribumi dan bangsa lain yang juga mengunjungi daerah ini. Selanjutnya pengamatan terhadap bahasa melalui pembacaan naskah dilanjutkan oleh para penginjil yang dikirim dalam jumlah besar oleh VOC. Bahasa Nusantara dipelajari untuk kepentingan tugas penginjil. Hasilnya adalah penelitian dan catatan rapi mengenai kebudayaan bahkan hingga suku yang belum mengenal tulisan.

Karena keterbatasan tenaga, awalnya kegiatan filologi hanya sampai pada tahap menyunting. Yaitu menyajikan naskah pada bentuk aslinya ditambahkan keterangan pendahuluan. Pada tahapan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf latin. Perkembangan selanjutnya adalah suntingan naskah disertai terjemahannya dalam bahasa asing. Pada abad ke- 20 muncul suntingan yang lebih mantap dengan kritik teks disertai terjemahan dalam bahasa Belanda, Inggris, atau Jerman. Juga muncul terbitan ulang dari naskah yang sudah pernah disunting dengan maksud untuk menyempurnakan. Pada saat itu juga banyak terbit naskah- naskah keagamaan baik Melayu maupun Jawa, sehingga dapat dikaji oleh ahli teologi serta selanjutnya menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Selanjutnya banyak diterbitkan suntingan-suntingan naskah dengan pembahasan isi ditinjau dari berbagai disiplin.

Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra barat. Banyak terdapat analisis struktural, fungsi, dan amanat pada naskah-naskah tersebut. Besarnya minat dan kesempatan pada masa-masa selanjutnya mendorong terbitnya kamus bahasa-bahasa Nusantara. Kajian terhadap naskahnya juga membuka kebudayaan Nusantara dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya. Sedangkan dari Indonesia sendiri, tokoh pribumi yang diakui sebagai ahli filologi adalah Husein Djayadiningrat dengan penelitian mengenai sejarah Banten.

Sedangkan setelah perang dunia kedua hanya terdapat sedikit ahli filologi dengan sedikit karya yang dihasilkan. Selanjutnya setelah perginya nama-nama besar R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prof. R. Prijana ahli filologi sangat sulit ditemukan. Usaha mencari karya filologi dari bangsa sendiri bisa dibilang sia-sia. Belum dapat ditemukan sumbangan yang berarti dalam bidang filologi dari dua universitas tertua di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sehingga sumbangan filologi dalam perkembangan kebudayaan nasional pun hampir tak ada. Nusantara seharusnya bersyukur atas peninggalan tertulis dari generasi sebelumnya.

Untuk itu diperlukan kajian filologi yang memadai sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebudayaan dan sejarah kehidupan sebelumnya. Sebenarnya kajian filologi akan sangat berguna juga karena dapat digunakan dalam bidang ilmu lain. Sayangnya kajian filologi saat ini belum terlihat hasil yang berarti. Bila saja ilmu filologi dilengkapi dengan ilmu sosial lainnya seperti arkeologi maupun antropologi, tentu akan didapati hasil yang lebih baik.

B.       Tokoh-Tokoh Filologi Nusantara [19]

1.     Husein Djayadiningrat // Critische Beschouwing Wan De Sadjarah Banten(1913), berdasarkan naskah Babad Banten.

2.     R.M.Ng. Poerbatjaraka // Arjuna-Wiwaha(1926) .

3.     Teuku Iskandar // De Hikajat Atjeh(1959).

4.     Naguib Al-Attas // The Mysticism Of Hamzah Fansuri (1970), dari buku Hamzah Fansuri.

5.     Siti Soleh // Hikayat Merong Mahawangsa (1970).

6.     Haryati Soebadio // Jnānasiddhanta  (1971).

7.     S. Soebardi // The Boek Of Cabolek (1975), berdasarkan naskah Serat Cabolek.

8.     S. Supomo // Arjuna-Wiwaha (1977).

9.     Edi Ekajati // Cerita Dipati Ukur (1978), dari naskah sejarah tradisional Sunda.

10.  Herman Sumantri // Sejarah Sukapura(1979), dari naskah sejarah tradisional Sunda.

11.  Sulastin Sutrisno // Hikayat Hang Tuah; Analisis Struktur Dan Fungsi (1979).

12.  Achadiati Ikram // Hikayat Sri Rama Suntingan Naskah Disertai Telaah Amanat Dan Struktur (1980).

13.  Prof. R. Prijana.

14.  Nabilah Lubis // Syech Yusuf Al-Taj Al-Makassari, Menyingkap Intisari Segala Rahasia

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.      Kearifan lokal yang mengakar dalam suatu kebudayaan dapat dilacak kembali pada tinggalan budaya masa lalu kebudayaan tersebut. Aneka bentuk tinggalan budaya masa lalu tersebut salah satunya berbentuk naskah dan ilmu pengetahuan memungkinkan adanya kajian ilmiah terhadap naskah tersebut yakni dengan menggunakan ilmu filologi.

2.      Filologi sebagai suatu bidang ilmu adalah suatu studi tentang kajian atau telaah naskah-naskah atau karya sastra masa lampau yang memiliki nilai informatif dengan tujuan untuk mengungkapkan makna dan pesan yang terkandung didalamnya untuk kepentingan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.

Filologi sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan karena dengan mengetahui ilmu filologi maka banyak ilmu lain yang bisa ketahui.

Sejarah perkembangan filologi di Nusantara awalnya dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, Yang pertama kali mengetahui adanya naskah di Nusantara adalah para pedagang Barat, peran para pedagang sebagai pengamat bahasa melalui pembacaan naskah-naskah dilanjutkan oleh para penginjil yang dikirim VOC ke Nusantara selama 2 abad pertama.

B.  Saran

Dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran bahwa masyarakat umum harus diberikan pemahaman yang baik tentang ilmu filologi. Jika mereka menyimpan atau mengetahui tentang naskah kuno mereka bisa memberitahu kepada ahli filologi atau mereka bisa memperlakukan naskah tersebut dengan lebih baik, sehingga pengetahuan akan lebih berkembang dan bisa disebarluaskaan.

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Nabilah. 2007. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta : Yayasan Media Alo Indonesia.

Ikram , Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta : Pustaka Jaya.

Baried, Siti Baroroh dkk. 1994.Pengantar Teori Filologi.Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM.

http://achafilologi.blogspot.com/ di akses pada 18 Maret 2014

http://hendyyuniarto.blogspot.com/2008/12/filologi-di-kawasan- nusantara.html di akses pada 18 Maret 2014

http://staff.uny.ac.id/sites/default/.../DIKTAT~Filologi_2.pdf / diakses pada 18 Maret 2014

http://museologi2010.blogspot.com/2010/10/sejarah-perkembangan filologi.html diakses pada 29 Maret 2014

http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/download/diakses pada 05 April 2014

[1] Achadiati Ikram, Filologia Nusantara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), h. 1

[2] Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi(Jakarta:Yayasan Media Alo Indonesia, 2007), h.16

[3] http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnal-humaniora/article/download/ diakses pada 05 April 2014

[4] Nabilah Lubis, op. cit. h. 21

[5] http://staff.uny.ac.id/sites/default/.../DIKTAT~Filologi_2.p diakses pada 18 Maret  2014

[6] Nabilah Lubis, op. cit h.3

[7] Ibid, h.53

[8] Siti Baroroh Baried dkk, Pengantar Teori Filologi (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1994), h. 9

[9] Nabilah Lubis, op. cit h.53

[10]http://hendyyuniarto.blogspot.com/2008/12/filologi-di-kawasan-nusantara.htmldi akses pada 18 Maret 2014

[11]http://museologi2010.blogspot.com/2010/10/sejarah-perkembangan-filologi.htmldiakses pada 29 Maret 2014

[12] Nabilah Lubis, op. cit. h.53

[13] Ibid, h. 53

[14] Ibid, h. 54

[15] Ibid, h. 55-56

[16] http://museologi2010.blogspot.com/2010/10/sejarah-perkembangan filologi.htmldiakses pada 29 Maret 2014

[17] Nabilah Lubis, op. cit. h.57

[18] Ibid, h. 58

[19] http://achafilologi.blogspot.com/ di akses pada 18 Maret 2014

nita adiyati di 01.42

Tidak ada komentar:

Qurban Pertamaku 2023

Rangkaian cerita yang Allah susun semuanya sempurna, indah, tidak ada yang janggal, apalagi keliru. Skenario Allah tersusun begitu apik, har...