Rabu, 19 April 2017

Ushul Fiqh Dzari'ah

A. Pendahuluan

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah persoalan perbuatan yang dilakukan itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan umpamanya, maka ia harus belajar. Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan itu disebut perantara, jalan atau pendahuluan.

Bila seseorang akan melakukan pembunuhan umpamanya, ia sebelumnya harus melakukan beberapa kegiatan seperti memiliki senjata untuk membunuh dan mencari kesempatan untuk melakukan pembunuhan itu. Membunuh merupakan kegiatan pokok yang dituju, sedang perbuatan lain yang mendahuluinya disebut perantara, jalan atau pendahuluan.

Sebelum melakukan zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina itu. Dalam hal ini zina disebut perantara atau pendahuluan.

Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur oleh syara’ dan termasuk ke dalam hukum taklifi yang lima atau yang disebut al-ahkam al khamsah. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok yang disuruh atau yang dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya. Keharusan melakukan atau menghindarkan perbuatan yang mendahului perbuatan pokok itu ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung. Contohnya:

1. Wudhu adalah perbuatan pendahuluan (perantara) untuk melaksanakn shalat, namun kewajiban itu sendiri telah diatur hukumnya dalam al-Quran. Dalam hal ini jelas bahwa hukum untuk perbuatan pendahuluan (perantara) itu sama dengan hukum bagi perbuatan pokok yaitu sama-sama wajib.

2. Menuntut ilmu hukumnya wajib berdasarkan hadis Nabi. Namun untuk terlaksananya kewajiban menuntut ilmu itu, ada yang harus dilakukan sebelumnya, seperti mendirikan sekolah. Tetapi untuk mendirikan sekolah itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah dikatakan bahwa membuat sekolah wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu sebagai perbuatan yang dituju?

3. Berzina adalah perbuatan haram yang harus dijauhi. Untuk dapat menjauhi perbuatan zina itu harus menghindari perbuatan yang mendahuluinya, yang dapat mengantarkannya pada zina, seperti berkhalwat (berdua-duaan ditempat sepi). Khalwat sebagai perbuatan perantara bagi zina itu sendiri sudah ada hukumnya (haram) yang ditetapkan dalam hadis Nabi. Dalam hal ini hukum perbuatan pendahuluan (perantara) adalah sama dengan hukum perbuatan pokok yang dituju, yaitu sama-sama haram.

Berwudhu sebagai perantara bagi wajibnya shalat. Hukumnya adalah wajib, demikian pula berkhalwat sebagai perantara kepada zina yang diharam, hukumnya adalah haram. Masalah seperti ini tidak diperbincangkan para ulama karena hukumnya sudah jelas. Untuk itu berlaku kaidah:
سَائِلِ كَحُكْمِ المَقَاصِدِ
Bagi wasilah (perantara) itu hukumnya adalah sebagaimana hukum yang berlaku pada apa yang dituju.

Persoalan yang diperbincangkan para ulama adalah perbuatan perantara (pendahuluan) yang belum mempunyai dasar hukumnya. Perbuatan perantara itu disebut oleh ahli Ushul dengan Al-dzariah (الذريعة).

Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005) Hlm 396-398.

B. Pengertian Dzari'ah

Secara etimologi, dzari'ah (الذريعة) berarti "jalan yang menuju kepada sesuatu." ada juga yang mengkhususkan dzari'ah dengan "sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan". Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh Hanbali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari'ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzari'ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Nasrun Haroen dalam Ibn Qayyim al-Jauziah, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 160. Oleh sebab itu, menurutnya, pengertian dzari'ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, yaitu: yang dilarang (sadd al-dzari'ah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari'ah).

Nasrun Haroen. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 160-161.

Ibn Qayyim mendefinisikan dzari'ah, yaitu:

ما كان وسيلة
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.

C. Saddu Dzari'ah

1. Secara Etimologis

Kata saddu al-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti penghalang, hambatan, atau sumbatan. Jadi dapat dimaknai dengan menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah al-dzara’i (الذَّرَائِع). Maka saddu dzari'ah dapat diartikan sebagai penghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.

2. Secara Terminologi.

Rina Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005) Hlm 396-398.

sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.

Contohnya zakat yang telah memenuhi haul (genap setahun) akan tetapi ia menghibbahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahatan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.

Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang boleh dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan pekerjaan, dan
c. Dalam melakukan perbuatan yang dibolehkan unsur kemafsadatannya lebih banyak.

Nasrun Haroen. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 161-162.

Tujuan penetapan hukum secara.

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

Kemal Muchtar. Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995) Hlm 156

D. Macam-Macam Dzariah

Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatannya.

1. Adzariah Dilihat dari Segi Kualitas Kemafsadatan

Menurut Imam Abu Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya,  Adzariah terbagi kepada 4 macam, yaitu: 

Nasrun Haroen dalam Abu Ishaq al-Syathibi, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 162.

a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti (qhoth'i). Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.

b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras. Namun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan untuk membunuh atau menyakiti orang lain.

c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya sering dijadikan sarana untuk riba.

d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.

2. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:

Syarifuddin. Ushul Fiqh Jilid II (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005) Hlm 402.

1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.

2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuatan buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.

3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannnya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.

4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.

Nasrun Haroen. Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 162-163.

E. Kehujjahan Sadd Adz- Dzariah

Dikalangan ulama ushul terjadi perbedaan pedapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzariah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain:

Firman Allah dalam surat An An’am:
وَلَا تَسُّبُوْاالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوْاالله عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمِ.... ﴿الانعم 108﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…. (QS: An An’am:108)

Dalam ayat ini Allah melarang kaum muslimin memaki-maki orang musyrikin atau Tuhan yang mereka sembah. Karena perbuatan yang demikian itu menjadi sebab mereka akan membalas memaki-maki Tuhan Allah SWT.

Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.

Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi diketahui orang sehingga menimbulkan rangsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang.

Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.

Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddu Dzari'ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah dari sunnah adalah:

Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik bisa menyebabkan Nabi dituduh membunuh sahabatnya. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara demikian bisa mengarah kepada riba atau untuk ikhtiyat. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatirkan tentara-tentara lari bergabung bersama musuh. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa mengakibatkan kesulitan manusia.

Nabi melarang fakir miskin dari bani Hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat

Sumber dari hadis antara lain, sabda Rasulullah:

عَنْ عَبْدِاللَّه ِبْنِ عَمْرٍ ورَضِيا َلله ُعَنْهُمَا قَالَ قَال َرَسُولُ الله ِصَلَّى الله ُعَلَيْه ِوَسَلَّم َإِن َّمِنْ أَكْبَر ِالْكَبَائِرِ أَنْيَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْه ِقِيل َيَارَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَن. ُالرَّجُلُ وَالِدَيْه ِقَالَ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, lalu Rasulullah SAW ditanya, ”wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat ibu bapaknya? " Rasulullah SAW manjawab ”seseoang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun mencaci maki ibunya." (HR. Bukhori, Muslim dan Abu Daud).

Dalam kasus lain, Nabi, melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh bapaknya (HR. Bukhori dan Muslim). Larangan ini penting untuk mencegah terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak dengan alasan agar segera memperoleh harta warisan.
Dari beberapa nash yang telah dikemukakan diatas, dipahami bahwa Islam melarang suatu perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun perbuatan tersebut semulanya dibolehkan.

Sementara dikalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syiah hanya menerima Sadd al-Dzariah dalam masalah tertentu dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah-masalah lain, misalnya, Imam Syafi’i membolehkan seseorang yang karena uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan shalat zuhur, namun, orang tersebut hendaklah melaksanakan shalat zuhur secara diam-diam dan tersembunyi supaya tidak dituduh sengaja meniggalkan shalat jum’at. Begitu pula dengan orang yang tidak puasa Ramadhan karena uzur agar makan dan minum di tempat umum untuk menghindar fitnah terhadap orang tersebut. Pedapat-pendapat Imam Syafi’i ini dirumuskan atas dasar prinsip Sadd al-Dzariah. 

Menurut Husain Hamid, salah seoang guru besar Ushul Fiqh Fakultas Hukum Kairo, ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima Sadd adz-Dzariah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (ghilbah adz-zhan) akan terjadi.

Dalam memandang dzariah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul:

1. Motivasi seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan untuk melakukan sesuatu yang halal maupun yang haram. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga, dengan tujuan agar wanita ini boleh dikawini kembali oleh suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.

2. Dari segi dampak (akibat) negatif, misalnya seorang muslim mencaci maki sembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu dilarang.
Perbedaan antara Malikiyah dan Hanabilah disatu pihak dengan Syafi’iyah dan Hanafiyah di pihak lain, dalam berhujjah dengan Sadd adz-Dzariah adalah dalam masalah niat dan akad. Menturut ulama Syafi’iah dan Hanafiyah oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:

المعتبر

“patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia)adalah lafalnya.

Akan tetapi, jika yang tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:

“yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat atau makna, bukan lafadz dan bentuk formal (ucapan).

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat, tujuan dan akibat dari pekerjaan itu sendiri. Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan apabila niat sejalan denga perilaku, maka akad itu sah. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanya Allah saja, apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’ maka akadnya sah, namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid namun tidak ada efeknya hukumnya.

Ulama Zhaniniyah tidak mengakui kehujahn Sadd adz-Dzariah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiah saja dan tidak menerima campur tangan logika masalah hukum.

F. Fath Adz-Dzariah

Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan Imam Al-Qarafi,
Nasrun Haroen dalam Ibn Qayyim al-Jauziyah dan Syihabuddin al-Qarafi, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 171.
mengatakan, bahwa Dzari'ah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd al-Dzariah dan adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath al-Dzari'ah. Yang dimaksud Fath al-Dzari'ah adalah suatu perbuatan yang dapat membawa kepada sesuatu yang dianjurkan, bahkan diwajibkan syara'.

Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath al-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.

Misalnya shalat Jumat itu hukumnya wajib, maka berusaha untuk sampai ke masjid dengan meninggalkan segala aktivitas lain juga diwajibkan.

Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Zuhaili,
Nasrun Haroen dalam Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Hlm 171.
menyatakan bahwa perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada Dzariah, tetap dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib, sesuai dengan kaidah:

Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain maka sesuatu yang lain itu pun wajib dikerjakan.

Misalnya mengerjakan shalat itu adalah wajib. Sedangkan untuk mengerjakan yang wajib itu  harus berwudhu dulu. Maka berwudhu itu hukumnya wajib, karena berwudhu wajib maka upaya mencari air untuk berwudhu pun wajib. Berwudhu dan mencari air ini menurut para ahli ushul fiqh disebut sebagai hukum pendahuluan kepada yang wajib (muqaddimah al-wajibah)

Begitu pula segala jalan yang menunjukkan kepada sesuatu yang haram maka sesuatu itu pun haram sesuai dengan kaidah.

Segala jalan menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.

Misalnya: seseorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya atau melihatnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut Jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan mahram ini disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-humah).

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzari'ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fath Dzariah, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah dan sebagian Malikiyah menyebutkannya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai akidah dzari'ah, namun mereka sepakat bahwa hal itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.

KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
Dzari'ah secara etimologi adalah jalan yang menuju kepada sesuatu. Menurut terminologi yaitu sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Dzari'ah mengandung dua pengertian, yaitu Fath al-Dzariah adalah dituntut untuk dilaksanakan dan Sadd al-Dzari'ah adalah yang dilarang.
Sadd secara bahasa kata berarti menutup dan dzari'ah berarti wasilah. Dengan demikian Sadd al-Dzari'ah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Menurut Imam Asy Syatibi Sadd al-Dzari'ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir sesuatu kerusakan.

Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Dzariah dari segi kualitas kemafsadatan
1) Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti.
2) Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya.
3) Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan.
4) Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan
1) Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan.
2) Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja.
3) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan.
4) Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya.

Kamis, 06 April 2017

FUAH Terapkan Sistem Pendidikan Unggul

Disampaikan dalam rangka memperkenalkan fakultas baru di IAIN Purwokerto, yakni Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora (FUAH). FUAH memilih sistem pendidikan unggul dalam menjalankan proses belajar mengajarnya, yakni dengan cara memprioritaskan kepentingan mahasiswa dari kepentingan yang lainnya.

Hal ini bertujuan agar mahasiswa memiliki bekal yang cukup sehingga siap untuk terjun ke masyarakat luas. Tidak hanya memahami dan menghafalkan ilmu saja melainkan juga dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Dr. Hartono "memuaskan pelanggan eksternal yakni mahasiswa itu lebih penting daripada memuaskan kepentingan pelanggan internal yaitu pengelola itu sendiri." tuturnya mengenai sistem pendidikan FUAH.

Dengan sistem pendidikan yang mengedepankan kepentingkan mahasiswa, diharapkan mahasiswa memiliki pemahaman yang mendalam sesuai dengan bidang program studi masing-masing, sehingga mahasiswa tidak hanya belajar di dalam kelas saja melainkan mendapatkan banyak ilmu dari luar kelas salah satunya melalui program-program training yang FUAH selenggarakan.

Banyak program yang telah FUAH selenggarakan diantaranya mengadakan sangar-sangar yang dapat menambah pengetahuan mahasiswa seperti Sanggar Living Quran, berisi tentang Kajian Tafsir sehingga mampu menambah wawasan mahasiswa tentang tafsir al-Qur'an dan Komik Qur'an merupakan salah satu metode mengaplikasikan isi kandungan al-Qur'an kedalam hasil karya tulis. Selain itu ada Sanggar Bahasa diharapkan mahasiswa mampu berbahasa asing dengan baik khususnya bahasa inggris dan bahasa arab.

Kedepannya FUAH akan terus menambahkan program-program lainnya yang dapat menunjang pembelajaran mahasiswa dikelas maupun sebagai bekal untuk berhadapan dengan dunia di luar pendidikan.

Qurban Pertamaku 2023

Rangkaian cerita yang Allah susun semuanya sempurna, indah, tidak ada yang janggal, apalagi keliru. Skenario Allah tersusun begitu apik, har...