A. LATAR BELAKANG REFORMASI DI INDONESIA
Reformasi
di Indonesia tahun 1998 adalah suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kearah yang lebih baik secara
konstitusional. Artinya adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik,
ekonomi, hokum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip
kebebasan, persamaan, dan persaudaraa.
Gerakan
reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan
faktor-faktor pendorong timbulnya gerakan reformasi. Bahkan krisis kepercayaan
telah menjadi suatu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai
gerakan yang tidak dapat ditawar lagi, oleh karena itu seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan
semangat reformasi rakyat menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional
sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Pergantian nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan ekonomi, hukum,
sosial, dan budaya. Indonesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki
kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
Persoalan
pokok yang mendorong atau menyebab lahirnya gerakan reformasi adalah kesulitan
warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok. Harga-harga sembilan bahan
pokok (sembako), seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula,
susu, telur, ikan kering, dan garam, mengalami kenaikan yang tinggi.
Pemerintahan
Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam
kemakmuran, dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh
karena itu tujuan lahirnya gerakan reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan
perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, ternyata tidak
konsisten dan konsekuan dalam melaksanakan cita - cita Orde Baru. Pada awal
kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahanan Orde Baru banyak melakukan
penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Bahkan Pancasila dan
UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan
krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi.
- Krisis
Politik
Krisis
politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan
politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemereintah
Orde Baru selalu didasarkan pada alasan pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun
yang sebenarnya terjadi adalah merupakan upaya mempertahankan kekuasaan Presiden
Soeharto dan kroni-kroninya.. Artinya demokrasi yang dijalankan pemerintahan
Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Bukan
lagi demokrasi dalam pengertian dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan
demokrasi dari, oleh, dan untuk penguasa.
Pada
masa Orde Baru kehidupan politik sangat represif, yaitu adanya tekanan yang
kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang dianggap
kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif adalah :
1) Setiap orang atau kelompok yang mengkritik
kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara
Kesatuan Republik Indonesia).
2) Pelaksanaan Lima Paket UU Politgik yang melahirkan
demokrasi semu atau demokrasi rekayasa. Lima paket UU tersebut adalah UU No
tahun 1985 tentang Pemilihan Umum, UU No.3 tahun 1985 tentang Partai Politik
dan Golongan Karya, UU No.2 tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan anggota
MPR-DPR-DPRD yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 tahun 1995, UU No.8
tahun 1985 tentang Organisasi masyarakat, dan UU No.2 thaun 1985 tentang
Referendum.
3) Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
yang merajelala dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
4) Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung
kebebasan setiap warga Negara sipil untuk ikut berpartisipasi dalam
pemerintahan.
5) Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak
terbatas. Meskipun Soeharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR,
tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.
- Krisis
Hukum
Rekayasa-rekayasa
yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik saja,
dalam bidang hukumpun pemerintah melakukan intervensi. Artinya kekuasaan
peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa, dan
bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.
Hukum sering dijadikan alat pembenaran tindakan
penguasa. Kenyataan tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD
1945 yang menyatakan bahwa “kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan
terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif)”.
- Krisis
Moneter
Krisis
moneter yang melanda Negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi
perkembangan perekonomian Indonersia. Di tengah-tengah terjadinya kekisruhan
kehidupan berbangsa dan bernegara, pada bulan Juli 1997 Indonesia mulai terkena
imbas krisis moneter. Nilai rupiah terhadap uang asing, terutama dolar Amerika,
menurun secara drastis. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah dari
Rp.2,575.00 menjadi Rp.2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember
1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp. 5,000.00
per dollar. Dan pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan
mencapai titik terendah yaitu Rp. 16,000.00 per dollar.
Ketika
nilai rupiah semakin melemah, timbul krisis di bidang perbankan. Kebijakan
deregulasi yang dilakukan sejak bulan Oktober 1988 telah memacu pertumbuhan
bank yang luar biasa. Namun kebijakan deregulasi ini telah menimbulkan bisnis
perbankan yang tidak efesien. Akibatnya pemerintah melikuidasi 16 bank yang
bermasalah pada akhir tahun 1977.
Untuk
menyehatkan perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Dan pemerintah mengeluarkan
Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) untuk menyehatkan bank-bank yang berada
dibawah pembinaan BPPN. Namun di dalam pelaksanaan KLBI terjadi praktek
manipulasi besar-besaran. Pinjaman bank-bank bermasalah yang tidak dapat
dikembalikan semakin besar, sehingga pemerintah harus menanggung beban keuangan
yang semakin besar.
Dalam
pada itu kepercayaan Internasional terhadap Indonesia menurun. Hal ini
disebabkan karena perusahaan-perusahaan Negara dan swasta banyak yang tidak
mampu membayar utang luar negeri yang telah jatuh tempo.
Kebijakan
uang ketat dan suku bunga bank yang tinggi pada awal tahun 1998, tetap tidak
mampu mengatasi krisis moneter tersebut. Pemerintah akhirnya melakukan
pembekuan kembali tujuh bank pada bulan April 1998. Nilai rupiah terus melemah
menembus angka Rp. 10.000,00 per dollar Amerika Serikat. Pada saat krisis itu,
tidakan para spekulan valuta asing baik dari dalam maupun luar negeri semakin
memperburuk kondisi ekonomi nasional. Krisis moneter tidak sekedar hanya
menimbulkan kesulitan keuangan Negara, melainkan mengakibatkan hancurnya system
keuangan nasional.
- Krisis
Ekonomi
Penurunan
nilai tukar rupiah ini telah menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang
ditandai dengan lesunya perekonomian, dan juga menyebabkan kerusakan pada
institusi-institusi ekonomi penting. Memasuki tahun anggaran 1998/1999 , krisis
moneter berimbas juga pada aktivitas ekonomi yang lain. Perusahaan Negara
maupun swasta banyak yang tidak mampu membayar utang luar negeri yang telah
jatuh tempo. Dan banyak perusahaan yang bangkrut, sehingga angka pemutusan
hubungan kerja (PHK) meningkat. Akibatnya angka pengangguran semakin tinggi dan
secara langsung berpengaruh terhadap penurunan kemampuan daya beli serta
kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Ketimpangan kemampuan msyarakat yang
telah terjadi sebelumnya menjadi semakin kritis sejak terjadinya krisis ekonomi
ini.
Pada
akhir tahun 1997 persediaan barang-barang khusus sembilan bahan pokok di
pasaran mulai menipis di pasaran. Harga barang-barang naik tida terkendali,
yang berarti biaya hidup juga semakin tinggi. Pada awal tahun 1998 terjadi aksi
memborong barang-barang oleh kelompok tertentu di berbagai kota di Indonesia.
Dan di berbagai tempat terjadi kelaparan dan kekurangan pangan seperti di Irian
Jaya, Nusa Tenggara Timur, bahkan di beberapa tempat di pulau Jawa.
Sementara
itu pinjaman luar negeri yang telah disepakati dengan Internasional Moneter
Fund (IMF) belum terealisasi meskipun pada bulan Januari 1998 Indonesia sudah
menandatangani 50 butir kesepakatan dengan lembaga keuangan Internasional
tersebut. Selain itu semakin banyak ditemukan bukti-bukti tentang praktek
monopoli, nepotisme, korupsi, dan manipulasi yang dilakukan para penguasa
beserta kroninya dalam kehidupan ekonomi nasional.
- Krisis
Sosial
Krisis
politik, hukum dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial.
Pelaksanaan politik represif yang dijalankan pemerintahan Orde Baru dan tidak
demokratis menyebabkan terjadinya konflik politik maupun konflik antar etnis
dan agama.
Ketimpangan
perekonomian yang terjadi di Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap
timbulnya krisis sosial. Pengangguran, keterbatasan sembako, tingginya
harga-harga sembako. Rendahnya daya beli masyarakat, merupakan faktor-faktor
yang rentan terhadap krisis sosial.
Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah serta krisis ekonomi yang terjadi, mendorong
munculnya perilaku negatif dalam masyarakat. Misalnya perkelahian antar
pelajar, budaya menghujat, narkoba, kerusuhan masyarakat di Kalimantan Barat,
pembantaian dengan isu dukun santet di Banyuwangi dan Boyolali, serta kerusuhan
yang terjadi di Jakarta dan Solo pada tanggal 13-14 Mei 1998. Akibat kerusuhan
yang terjadi di Jakarta dan Solo, perekonomian di kedua kota tersebut mengalami
kelumpuhan untuk beberapa waktu karena banyak swalayan, pertokoan, dan pabrik
rusak dibakar dan dijarah massa. Hal tersebut menyebabkan membengkaknya angka
pengangguran.
Peristiwa-peristiwa
tersebut mengakibatkan beban masyarakat semakin berat. Ketidakpastian kapan
krisis akan berakhir telah menyebabkan masyarakat frustasi. Kondisi ini sangat
membahayakan karena dapat memberikan ruang bagi pihak yang ingin mengacau untuk
mengadudomba masyarakat, dan menyulut massa untuk melakukan tindakan anarkis.
- Krisis
Kepercayaan
Krisis
multidimensional yang melanda bangsa Indonersia telah mengikis kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Kegagalan pemerintah dalam
membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakan hukum, dan sistem
peradilan, serta pelaksanaan pembangunan yang berpihak kepada rakyat banyak
telah melahirkan krisis kepercayaan.
Sikap
pemerintah yang otoriter, tertutup, tidak demokratis, dan merebaknya KKN, telah
menyebabkan timbulnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para penguasa.
Gejala ini tampak sejak pemilihan umum tahun 1992 di mana perolehan suara
Golkar berkurang secara drastis. Dan sejak tahun 1996 ketidakpercayaan
masyarakat terhadap Orde Baru semakin terbuka. Muncullah tokoh seperti Amien
Rais yang vocal dan berani mengkritik pemerintah secara terbuka dan gerakan
mahasiswa, semakin memperbesar keberanian masyarakat untuk mengkritik
pemerintahan Orde Baru.
Krisis
multidimensional yang terjadi sebenarnya tidak terjadi begitu saja, melainkan
sebagai akibat dari berbagai kondisi yang tumbuh di Indonesia waktu itu,
seperti :
1) Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar
menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun hutang itu bukan
sepenuhnya hutang Negara, tapi juga hutang swasta.
2) Kebijakan Industrialisasi. Pemerintahan Orde Baru
ingin menjadikan Negara RI sebagai Negara industri, dan keinginan itu tidak
sesuai dengan kodisi nyata masyarakat Indonesia yang agrarais dan tingkat
pendidikannya masih rendah.
3) Pemerintahan yang Sentralistik. Pemerintahan Orde
Baru sangat sentralistik sifatnya, sehingga semua kebijakan ditentukan oleh
Pemerintah pusat di Jakrta. Oleh karena itu peranan pemerintah pusat sangat
menentukan, dan pemerintah daerah hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat.
B. TUNTUTAN REFORMASI
1. Keadaan menjelang Reformasi
Setahun
sebelum pemilihan umum yang direncanakan pada bulan Mei 1997, keadaan politik
Indonesia mulai memanas. Pemerintahan yang didukung Golkar, berusaha
mempetahankan kemenangan mutlak yang telah dicapai dalam lima kali pemilihan
umum sebelumnya. Di lain pihak, tekanann terhadap pemerintahan Orde Baru di
dalam masyarakat semakin berkembang.
Tuntutan
masyarakat akan adanya perubahan kebijakan politik, ekonomi, dan hukum, semakin
sering dikemukakan. Keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dianggap tidak mampu lagi
memenuhi aspirasi politik sebagian masyarakat.Perkembangan ekonomi dan
pembangunan nasional, dianggap telah menimbulkan ketimpangan ekonomi yang
besar, monopoli sumber ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, serta
tidak mampu menghilangkan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat. Kehidupan
masyarakat dan pemerintahan dianggap masih dipenuhi oleh pelanggaran hukum dan
hak asasi manusia oleh penguasa.
Di
dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan bahwa pemerintah telah menekan
pihak oposisi. Hal ini dapat dilihat pada perlakuan yang keras terhadap setiap
orang atau kelompok yang melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Orde
Baru. Seseorang dengan mudah dituduh sebagai anti pemerintah atau menghina
kepala negara, hanya karena mengkritik sebuah kebijakan tertentu. Keseragaman
berpikir dan bertindak menjadi sebuah prinsip dasar yang harus diterima semua
pihak.
Pemerintah
juga melarang mendirikan partai politik lain kecuali ketiga partai politik yang
sudah ada. Hal ini berkaitan dengan diberlakukannyua lima paket UU politik,
yaitu :
- Undang-Undang
No.1 Tahun 1985 Tentang Pemilihan Umum
- Undang-Undang
No.2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan anggota MPR, DPR, dan DPRD
yang kemudian disempurnakan menjadi UU No.5 Tahun 1995
- Undang-Undang
No.3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya
- Undang-Undang
No.8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
- Undang-Undang
No. 2 Tahun 1985 Tentang Referendum
Krisis
moneter, ekonomi, politik, hukum, telah menyebabkan ketidakpercayaan mayarakat
terhadap pemerintah Presiden Suharto semakin kuat, terutama di kalangan
masyarakat kampus. Pada bulan Maret Tahun 1998 mahasiswa di berbagai kota di
seluruh Indonesia mulai melakukan aksi menuntut agar segera dilakukan reformasi
total, khususnya di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Pada saat itu,
bentrokan antara mahasiswa dengan aparat keamanan mulai yang menimbulkan korban
mulai terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Aksi
damai yang merupakan bagian dari gerakan moral yang dilakukan mahasiswa di
seluruh Indonesia menghadapi tantangan baru. Memasuki bulan Mei 1998, aksi lain
yang mengarah pada perusakan, pembakaran, dan penjarahan mulai terjadi. Hal ini
kemudian digunakan oleh pemerintah untuk mendeskriditkan aksi damai mahasiswa,
yang ternyata semakin mendapat banyak dukungan masyarakat.
Pengumuman
pemerintah tentang kenaikan BBM dan ongkos angkutan tanggal 4 Mei 1998
semakin memperluas aksi demonstrasi mahasiswa.
Agenda reformasi yang menjadi tutnutan para mahasiswa mencakup beberal seperti
:
Adili Soeharto dan kroninya
Laksanakan Amendemen UUD 1945
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seluas-luasnya
Tegakan Supremasi Hukum
Ciptakan Pemerintahan yang bersih dari KKN
Pada
tanggal 12 Mei 1998, aksi mahasiwa di Universitas Trisakti Jakarta berubah
menjadi bentrokan fisik yang penuh dengan kekerasan Akibatnya empat orang
mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia, Heri Hertanto, Hendriawan, dan Hafidin
Alifidin Royan, meninggal dunia.Selain itu ratusan mahasiswa mengalami luka
ringan dan luka parah. Kekerasan tersebut mendorong munculnya solideritas yang
lebih luas di dalam kampus maupun masyarakat umum, menentang kebijakan
pemerintah yang tidak demokratis.
Peristiwa
Trisakti telah memicu terjadinya kerusuhan dan penjarahan yang memuncak pada
tanggal 13 dan 14 Mei 1998 terutama di Jakarta dan sekitarnya serta Surakarta.
Ribuan tempat tinggal, pertokoan, kantor, dan kendaraan milik masyarakat
Tionghoa dibakar. Ribuan orang mati terbakar di pusat-pusat pertokoan. Seluruh
masyarakatan terutama di perkotaan dicekam perasaan tidak aman. Hal ini
kemudian mendorong masyarakat keturunan Tionghoa pergi ke luar negeri secara
besar-besaran demi keamanan.
Presiden
Soeharto yang sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo Mesir segera pulang ke Tanah
Air pada tanggal 15 Mei 1998. Tuntutan agar Presiden Soeharto segera
mengundurkan diri semakin gencar disuarakan masyarakat. Rencanma mahasiswa
untuk berdialog dengan pimpinan DPR, berubah menjadi aksi mimbar bebas.
Para
mahasiswa kemudian memutuskan untuk tetap tinggal di gedung DPR/MPR, sampai
tuntutan reformasi total mereka dipenuhi. Kehadiran para mahasiswa di gedung
DPR/MPR, mengundang kedatang lebih banyak mahasiswa serta pendukung reformasi
lainnya terutama sejak tanggal 18 Mei 1998.
Aksi
mahasiswa tersebut mendapat dukungan spontan dari masyarakat, yang membawakan
makanan dan minuman bagi mereka. Pada tanggal 18 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namun pada
malam harinya, pimpinan ABRI menganggap bahwa himbauan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri itu merupakan pendapat individu pimpinan DPR/MPR yang
disampaikan secara kolektif.
Ketidak
jelasan sikap para elit politik ini semakin memperbesar jumlah mahasiswa dan
massa lainnya yang datang ke gedung DPR/MPR. Namun gerakan massa oposisi yanbg
berasal dari berbagai kelompok itu tidak memiliki pimpinan yang jelas, walaupun
pada saat itu terdapat beberapa orang individu yang menonjol memperjuangkan
reformasi.
Sementara
itu pada tanggal 19 Mei 1998 nilai mata uang rupiah semakin melemah menembus
Rp. 15,000.00 per dollar US. Pada hari itu juga Presiden Soeharto melakukan
pertemuan dengan beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat di Jakarta. Presiden
Soeharto kemudian mengumumkan tentang rencana pembentukan Komite Reformasi,
melakukan perubahan kabinet, dan segera melakukan pemilihan umum serta tidak
bersedia dicalonkan kembali sebagai presiden.
Tekanan
terhadap Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri semakin besar. Pada
peringatan hari kebangkitan nasional 20 Mei 1998 di Yogyakarta, para mahasiswa
berhasil melakukan aksi damai menuntut reformasi total. Dalam perkembangan
lain, upaya pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak berhasil.
Sebagian besar mereka yang ditawari untuk duduk di kabinet menolak.
Presiden
Soeharto akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, dan BJ Habibie
yang menjabat wakil presiden disumpah oleh Mahkaman Agung sebagai presiden
Republik Indonesia yang baru di Istana negara. Pengangkatan Presiden BJ Habibie
menggantikan Soeharto di luar Sidang MPR itu didasarkan pada Pasal 8
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kronologi Peristiwa Reformasi
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi di
Indonesia tahun 1998 dapat dipaparkan sebagai berikut :
- Pada
bulan Maret 1998 Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai
Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003. Presiden
Soeharto membentuk dan melaktik Kabinet Pembangunan VII.
- Pada
bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demonstrasi dan melakukan aksi keprihatinan yang menuntut
penurunan harga barang-barang kebutuhan pokok (sembako), Penghapusan KKN,
dan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
- Pada
tanbggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti
Jakarta terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat
orang mahasiswa tertembak hingga tewas, dan puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka-luka.
- Pada
tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal
dan penjarahan sehingga kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam
pewristiwa itu puluhan took dibakar dan isinya dijarah, dan ratusan orang
mati terbakar.
- Pada
tanggal 19 Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di
Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR
- Pada
tanggal 19 Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan
pernyataan berisi anjuran agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
- Pada
tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh agama dan
tokoh-tokoh masyarakat untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk
Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto.
- Pada
tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 di Intana Negara, Prtesiden Soeharto
meletakan jabatannya sebagai Presiden RI di hadapan Ketua dan beberapa
anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD 1945, kemudian Soeharto
menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu
itu juga BJ Habibie dilantik menjadi presiden RI oleh Ketua MA.